Sumber gambar: Klik disini
Ekonomi AS, khususnya kebijakan perpajakannya, selalu menarik perhatian dunia. Baru-baru ini, Arthur B. Laffer, pencetus teori Kurva Laffer, membuat pernyataan yang cukup mengejutkan tentang dampak kenaikan pajak. Dalam acara CNBC Indonesia Economic Update 2025, beliau mengungkapkan fakta-fakta menarik yang perlu kita cermati. Pernyataan beliau mengungkap dampak signifikan dari setiap kenaikan pajak sebesar 1%, khususnya untuk kelas menengah atas di Amerika Serikat. Apakah kenaikan pajak ini solusi terbaik? Mari kita telusuri lebih lanjut.
Laffer menyatakan bahwa setiap kenaikan tarif pajak 1% untuk kelompok berpenghasilan tinggi di AS, berdampak buruk pada tiga hal penting: pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak itu sendiri, dan kondisi masyarakat miskin. Ia menekankan, βIni tentang fakta, bukan tentang perasaan Anda, bahwa setiap kali kita menaikkan tarif pajak 1% terhadap kelompok pendapatan teratas di Amerika Serikat, tiga hal telah terjadi, yakni ekonomi berkinerja buruk, pendapatan pajak dari orang kaya turun, dan orang miskin terpukul.β Pernyataan ini cukup provokatif, mengingat banyak negara yang kerap mengandalkan kenaikan pajak untuk menutup defisit anggaran.
Contohnya, kebijakan pajak penghasilan (PPh) di AS sejak 1913 menjadi landasan analisis Laffer. Ia mempelajari data historis dan menemukan korelasi antara kenaikan pajak dan dampak negatifnya. Kenaikan pajak, menurut Laffer, justru mengurangi investasi dan mengurangi daya beli masyarakat. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat, dan ironisnya, pendapatan pajak dari kelompok kaya justru menurun karena mereka mengurangi aktivitas ekonomi. Lebih jauh lagi, dampak terbesarnya justru dirasakan oleh masyarakat miskin, yang kehilangan lapangan kerja akibat perlambatan ekonomi.
Teori Kurva Laffer sendiri menggambarkan hubungan antara tarif pajak dan penerimaan pajak pemerintah. Teori ini menyatakan bahwa terdapat titik optimal dalam tarif pajak di mana penerimaan pajak maksimum. Di atas titik itu, kenaikan tarif pajak justru akan mengurangi penerimaan pajak karena dampak negatifnya pada aktivitas ekonomi. Laffer menggambarkan situasi ini sebagai efek domino yang merugikan semua pihak. Ia menambahkan, “Lihat saja apa yang terjadi pada orang miskin di tahun 1930-an. Apa yang terjadi pada orang miskin selama Perang Dunia II? Apa yang terjadi pada orang miskin di masa Johnson, Nixon, Ford, dan Carter? Apa yang terjadi dengan pendapatan pajak? Anda tahu, ini fakta, kawan.β
Laffer juga membandingkan kondisi ekonomi AS ketika pemerintah justru menurunkan tarif pajak 1%. Dalam hal ini, ia mengklaim terjadi peningkatan ekonomi yang signifikan, termasuk peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin karena terciptanya lapangan kerja baru. Ini menunjukkan betapa pentingnya mencari titik keseimbangan dalam kebijakan perpajakan, supaya tidak berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Pernyataan Laffer mengingatkan kita akan pentingnya mengevaluasi dampak setiap kebijakan kenaikan pajak. Kenaikan pajak bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang dampaknya pada seluruh lapisan masyarakat. Mempelajari data historis, seperti yang dilakukan Laffer, sangat penting untuk membuat kebijakan yang berkelanjutan dan menguntungkan semua pihak. Pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah: bagaimana menemukan keseimbangan antara kebutuhan pendapatan negara dan dampaknya pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat? Mungkin, jawabannya tidak sesederhana menaikkan atau menurunkan pajak saja.