Kontroversi Wajib Militer Ultra-Ortodoks Goyahkan Koalisi Israel di Tengah Perang

TEL AVIV – Sebuah krisis sosial dan politik yang telah lama membara di Israel kini memuncak, mengancam stabilitas pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di tengah perang yang sedang berlangsung. Pemicunya adalah perintah wajib militer bagi warga Israel Ultra-Ortodoks (Haredi) yang secara historis dibebaskan dari layanan militer, memicu kemarahan besar di komunitas tersebut dan memperdalam perpecahan di masyarakat.
Keputusan Mahkamah Agung Israel pada akhir Maret 2024 untuk mengakhiri pengecualian wajib militer yang berlaku puluhan tahun bagi pria Haredi telah memicu gejolak. Dengan banyaknya korban jiwa di Gaza dan kebutuhan mendesak akan personel militer tambahan, desakan dari warga Israel sekuler dan Druz untuk “berbagi beban” pelayanan nasional semakin kuat. Namun, bagi komunitas Ultra-Ortodoks, seruan ini adalah pelanggaran mendalam terhadap cara hidup mereka.
Sejarah Pengecualian dan Tekanan Perang
Pengecualian wajib militer bagi pria Haredi berakar pada kesepakatan yang dibuat oleh bapak pendiri Israel, David Ben-Gurion, pada tahun 1948. Kesepakatan itu mengizinkan beberapa ratus sarjana Torah untuk fokus pada studi keagamaan demi melestarikan tradisi Yahudi setelah Holocaust. Seiring waktu, jumlah pria Haredi yang dikecualikan tumbuh secara eksponensial, mencapai puluhan ribu setiap tahunnya.
Ketentuan hukum yang dikenal sebagai “Undang-Undang Tal” yang melegitimasi pengecualian ini telah berulang kali diperpanjang dan ditentang di pengadilan. Kritikus berpendapat bahwa pengecualian tersebut tidak adil, diskriminatif, dan tidak berkelanjutan, terutama mengingat pertumbuhan populasi Haredi. Dengan perang di Gaza yang memasuki bulan-bulan dan menuntut mobilisasi cadangan serta penambahan personel, tekanan untuk mengakhiri pengecualian ini semakin tak terhindarkan.
Ribuan warga Israel telah tewas dalam konflik sejak serangan Hamas pada 7 Oktober. Keluarga prajurit yang gugur dan cadangan yang terus-menerus bertugas mempertanyakan mengapa satu segmen masyarakat dibebaskan dari pengorbanan yang sama. Sentimen ini menjadi bahan bakar utama bagi protes yang menuntut kesetaraan dalam beban nasional.
“Pada saat putra-putra bangsa kami mempertaruhkan nyawa mereka di garis depan, gagasan bahwa ada kelompok yang sepenuhnya dibebaskan dari tugas ini tidak hanya tidak adil, tetapi juga tidak bermoral. Sudah saatnya setiap warga negara Israel berbagi beban dan bertanggung jawab atas keamanan negara ini,” kata seorang pensiunan jenderal IDF yang enggan disebutkan namanya kepada media lokal pada 25 August 2025.
Di sisi lain, komunitas Ultra-Ortodoks berpendapat bahwa studi Torah mereka adalah kontribusi spiritual dan intelektual yang esensial bagi negara, bahkan lebih penting daripada layanan militer fisik. Mereka khawatir wajib militer akan menyebabkan asimilasi dan erosi identitas Haredi, yang sangat menekankan pada ketaatan hukum Yahudi.
Ancaman Koalisi dan Masa Depan Politik Netanyahu
Ketegangan seputar wajib militer telah menciptakan retakan dalam koalisi pemerintahan Perdana Menteri Netanyahu. Partai-partai Haredi, Shas dan United Torah Judaism, adalah tulang punggung koalisi Netanyahu dan mengancam akan menarik dukungan mereka jika pemerintah tidak menemukan cara untuk mempertahankan pengecualian wajib militer bagi komunitas mereka. Tanpa dukungan partai-partai ini, koalisi Netanyahu akan runtuh, memicu pemilihan umum baru di tengah-tengah konflik yang belum usai.
Netanyahu sendiri berada dalam posisi yang sangat sulit. Ia harus menyeimbangkan tekanan dari sekutunya yang Ultra-Ortodoks dengan tuntutan dari masyarakat luas dan partai-partai oposisi yang menyerukan kesetaraan dalam layanan militer. Setiap langkah yang diambilnya berisiko mengasingkan salah satu pihak, dengan konsekuensi politik yang serius.
Mahkamah Agung telah memberikan pemerintah tenggat waktu hingga akhir Juni untuk mengajukan kerangka kerja baru mengenai wajib militer. Jika tidak ada solusi yang dapat diterima, ribuan pria Haredi akan secara teknis memenuhi syarat untuk wajib militer, sebuah skenario yang hampir pasti memicu protes massal dan kemungkinan konfrontasi. Masa depan Israel, baik di medan perang maupun di panggung politik domestik, kini sangat bergantung pada bagaimana krisis yang mendalam ini akan diselesaikan.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda