August 25, 2025

LOKAL TIMES

Update Terus, Gak Ketinggalan Zaman!

Wajib Militer Ultra-Ortodoks: Krisis Baru Membelah Israel, Ancam Koalisi Netanyahu

Israel sedang menghadapi salah satu krisis internal terparah dalam sejarahnya, sebuah perpecahan mendalam yang mengancam stabilitas politik dan kohesi sosialnya. Di tengah gejolak perang yang masih berlangsung, seruan untuk mengakhiri pengecualian wajib militer bagi warga ultra-Ortodoks atau Haredim selama puluhan tahun telah memicu kemarahan besar, mengguncang fondasi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada 25 August 2025.

Pengecualian yang telah berlangsung lama ini, yang memungkinkan ribuan pria Haredim untuk menghindari dinas militer demi studi keagamaan, kini menjadi titik didih. Dengan meningkatnya jumlah korban dan kebutuhan akan lebih banyak tentara di medan perang, tekanan publik dan politik untuk menuntut kesetaraan dalam pengorbanan telah mencapai puncaknya. Namun, para pemimpin ultra-Ortodoks menolak keras seruan ini, memandang dinas militer sebagai ancaman terhadap gaya hidup dan nilai-nilai sakral mereka, sehingga menciptakan dilema yang dapat menjatuhkan koalisi yang berkuasa.

Sejarah Pengecualian dan Pergeseran Paradigma

Sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948, sebuah kompromi politik dibuat yang membebaskan sejumlah kecil cendekiawan Talmud dari wajib militer. Pengecualian ini didasarkan pada keyakinan bahwa studi Torah yang mendalam adalah bentuk perlindungan spiritual bagi negara, sebanding dengan perlindungan fisik yang diberikan oleh tentara. Seiring waktu, populasi ultra-Ortodoks tumbuh pesat, dan pengecualian tersebut diperluas, mencakup puluhan ribu pria muda yang mengabdikan hidup mereka untuk belajar di yeshiva (sekolah agama Yahudi).

Namun, kompromi ini mulai terkikis oleh kenyataan demografi dan ekonomi. Jumlah pria Haredim yang dibebaskan dari wajib militer dan seringkali tidak bekerja, kini mencapai angka yang signifikan, menimbulkan beban ekonomi dan kemarahan di kalangan warga Israel lainnya. Warga sekuler dan modern Ortodoks yang anaknya atau dirinya sendiri telah bertugas di IDF, semakin memprotes ketidaksetaraan ini, terutama mengingat ancaman keamanan yang terus-menerus dihadapi Israel. Pada tahun 2017, Mahkamah Agung Israel menyatakan undang-undang yang mengatur pengecualian ini inkonstitusional, menuntut pemerintah untuk mencari solusi baru. Batas waktu untuk undang-undang baru telah berulang kali ditunda, menciptakan ketidakpastian hukum.

Ancaman Politik bagi Netanyahu dan Perlawanan Ultra-Ortodoks

Pecahnya konflik pada 7 Oktober dan perang berikutnya telah memperparah krisis ini secara drastis. Kebutuhan mendesak akan lebih banyak personel militer dan peningkatan pengorbanan di kalangan masyarakat umum telah memperkuat seruan agar semua warga negara menanggung beban yang sama. Namun, bagi komunitas ultra-Ortodoks, dinas militer tetap menjadi garis merah. Mereka berpendapat bahwa lingkungan militer yang sekuler dapat merusak identitas religius dan nilai-nilai spiritual mereka yang sangat dijunjung tinggi. Para rabi terkemuka bahkan mengancam akan meninggalkan Israel jika para siswa yeshiva dipaksa untuk mendaftar.

Dilema ini menempatkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dalam posisi yang sangat sulit. Koalisi pemerintahannya sangat bergantung pada partai-partai ultra-Ortodoks, United Torah Judaism dan Shas. Jika Netanyahu gagal memperpanjang pengecualian atau mencapai kompromi yang memuaskan partai-partai ini, koalisinya kemungkinan besar akan runtuh, memicu pemilihan umum di tengah masa perang. Sebaliknya, jika ia mengalah pada tuntutan Haredim, ia akan menghadapi kemarahan luas dari publik Israel yang merasa dikhianati dan tuntutan keadilan yang belum terpenuhi.

Seorang veteran perang yang enggan disebutkan namanya, menyatakan kepada media, “Saat putra-putra kami gugur di medan perang, bagaimana mungkin sebagian warga negara dibebaskan dari kewajiban suci ini? Ini bukan hanya masalah keadilan, tapi tentang kelangsungan hidup bangsa ini.”

Dengan batas waktu yang mendesak untuk menyelesaikan masalah pengecualian ini, Netanyahu dihadapkan pada pilihan yang mustahil: menyelamatkan pemerintahannya atau menghadapi murka publik dan potensi keruntuhan sosial. Krisis ini bukan sekadar masalah legislatif; ia mencerminkan keretakan mendalam dalam identitas Israel. Bagaimana negara Yahudi dapat menyeimbangkan nilai-nilai religius dan kewajiban sipil di tengah ancaman eksistensial akan menentukan masa depannya.


Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.