November 4, 2025

LOKAL TIMES

Update Terus, Gak Ketinggalan Zaman!

El Fasher Mencekam: Ratusan Ribu Sipil Terjebak di Tengah Perang Sudan

EL FASHER, SUDAN – Kota El Fasher, ibu kota negara bagian Darfur Utara, Sudan, kini menjadi titik api konflik yang mengerikan, menjebak setidaknya 260.000 warga sipil dalam sebuah dilema yang mematikan. Dikelilingi oleh pertempuran sengit antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF), penduduk kota ini dihadapkan pada pilihan mengerikan: menghadapi kelaparan dan hujan bom jika tetap tinggal, atau risiko pemerkosaan dan pembunuhan jika mencoba melarikan diri.

Krisis di El Fasher merupakan babak terbaru dari perang saudara yang telah mencabik-cabik Sudan sejak April 2023. Namun, lokasi strategis El Fasher sebagai satu-satunya ibu kota negara bagian di Darfur yang belum sepenuhnya dikuasai RSF, serta perannya sebagai pusat bantuan kemanusiaan, menjadikannya medan pertempuran dengan konsekuensi kemanusiaan yang sangat besar. Puluhan ribu warga sipil, termasuk pengungsi internal dari wilayah Darfur lainnya, kini terperangkap dalam kepungan tanpa jalan keluar yang aman.

Ancaman Kelaparan dan Bombardir Tanpa Henti

Situasi di El Fasher memburuk drastis dalam beberapa minggu terakhir seiring intensifikasi serangan dari kedua belah pihak. Kota ini, yang dulunya merupakan pusat vital bagi penyaluran bantuan kemanusiaan untuk jutaan pengungsi di Darfur, kini terisolasi dari dunia luar. Jalur pasokan makanan, air bersih, dan obat-obatan terputus total akibat pengepungan dan pertempuran yang tidak kunjung reda. Organisasi kemanusiaan melaporkan gudang-gudang logistik yang kosong dan fasilitas kesehatan yang kewalahan, bahkan beberapa di antaranya telah menjadi sasaran serangan langsung.

Warga sipil yang terperangkap di dalam kota hidup di bawah bayang-bayang serangan udara dan artileri yang tak pandang bulu. Rumah sakit, yang sudah minim sumber daya, melaporkan peningkatan tajam korban jiwa dan luka-luka akibat bombardir yang terus-menerus. Anak-anak, wanita, dan lansia menjadi kelompok yang paling rentan, menghadapi ancaman gizi buruk, dehidrasi, dan penyakit yang diperparah oleh kurangnya akses terhadap perawatan medis dasar. Banyak warga terpaksa bersembunyi di ruang bawah tanah atau bangunan semi-permanen, berharap terhindar dari pecahan peluru yang beterbangan, sementara pasokan makanan semakin menipis setiap harinya.

Pelarian Berujung Maut dan Kekerasan Mengerikan

Bagi mereka yang mencoba melarikan diri dari El Fasher, jalur evakuasi justru menjadi ladang ranjau yang penuh bahaya. Laporan-laporan mengerikan dari berbagai sumber mengindikasikan bahwa warga sipil yang nekat mencari keselamatan di luar kota seringkali menjadi korban kekerasan brutal. Kelompok-kelompok bersenjata yang beroperasi di sepanjang rute pelarian dilaporkan melakukan penjarahan, penculikan, dan kekerasan seksual, terutama terhadap wanita dan anak perempuan yang berusaha mencapai tempat yang lebih aman.

Risiko pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan telah menjadi kenyataan pahit bagi banyak pengungsi yang putus asa. Tanpa koridor kemanusiaan yang aman dan terjamin, setiap langkah keluar dari El Fasher adalah pertaruhan nyawa. PBB dan berbagai organisasi hak asasi manusia telah berulang kali menyerukan pembukaan jalur aman bagi warga sipil untuk melarikan diri, namun seruan tersebut tampaknya diabaikan oleh pihak-pihak yang bertikai. Banyak yang pada akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal di kota, meskipun kelaparan dan bom mengintai, karena ketakutan akan nasib yang lebih buruk di luar sana.

“Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup. Kami tidak tahu mana yang lebih menakutkan, bom-bom yang jatuh atau kelaparan yang perlahan membunuh kami,” ujar Fatima Ahmed, seorang ibu tiga anak yang terperangkap di El Fasher, seperti dikutip dari laporan kemanusiaan terbaru yang diterima 16 September 2025. “Kami merasa seperti dunia telah melupakan kami, dan kami hanya menunggu nasib.”

Krisis kemanusiaan di El Fasher telah mencapai titik kritis yang membutuhkan perhatian global segera. PBB dan sejumlah negara telah menyerukan gencatan senjata permanen dan pembukaan akses kemanusiaan tanpa hambatan untuk mencegah tragedi yang lebih besar. Namun, hingga 16 September 2025, pertempuran sengit masih berlanjut, dan nyawa ratusan ribu warga sipil terus terancam. Komunitas internasional dituntut untuk bertindak lebih tegas guna melindungi warga sipil yang tak berdaya dan mendesak pihak-pihak yang bertikai untuk mengakhiri kekerasan.


Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.