Tiongkok Mengisi Kekosongan: Janji Global Kontras dengan Mundurnya AS
        Pada pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa baru-baru ini, komitmen Tiongkok terhadap isu iklim dan perdagangan global menjadi sorotan utama, secara tajam menyoroti bagaimana langkah-langkah yang mungkin terlihat sederhana dari Beijing dapat memiliki dampak besar ketika Amerika Serikat menunjukkan kecenderungan untuk menarik diri dari panggung kepemimpinan dunia. Pergeseran dinamika ini mengisyaratkan sebuah era baru dalam tatanan geopolitik, di mana inisiatif Tiongkok, baik yang besar maupun kecil, kini diinterpretasikan sebagai upaya untuk mengisi kekosongan pengaruh.
Arah Baru Kebijakan Iklim dan Lingkungan
Dalam konteks iklim global, Tiongkok telah mengambil langkah yang signifikan dengan mengumumkan target ambisius untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060 dan puncak emisi karbon sebelum tahun 2030. Komitmen ini, meski datang dari negara penghasil emisi terbesar di dunia, disambut dengan harapan oleh banyak pihak yang mendambakan kepemimpinan tegas dalam mengatasi krisis iklim. Janji-janji ini sangat kontras dengan kebijakan administrasi AS sebelumnya yang menarik diri dari Kesepakatan Paris dan secara umum meragukan konsensus ilmiah tentang perubahan iklim. Meskipun Washington, di bawah administrasi baru, telah menyatakan kembali komitmennya, jeda yang terjadi sebelumnya telah menciptakan ruang bagi negara lain untuk tampil ke depan.
Inisiatif Tiongkok tidak hanya berhenti pada janji di tingkat multilateral. Negara itu telah menjadi investor terbesar di dunia dalam energi terbarukan dan teknologi hijau, menunjukkan niatnya untuk memimpin melalui tindakan nyata. Bagi banyak negara berkembang, Tiongkok kini menawarkan model dan kemitraan dalam pengembangan energi bersih, sesuatu yang sebelumnya banyak diandalkan dari negara-negara Barat. Hal ini menempatkan Tiongkok tidak hanya sebagai aktor penting dalam mitigasi iklim, tetapi juga sebagai penyedia solusi dan teknologi.
Dominasi Perdagangan dan Kepemimpinan Geopolitik
Selain iklim, janji Tiongkok terkait perdagangan juga menunjukkan ambisi globalnya. Beijing secara konsisten menyuarakan dukungan terhadap sistem perdagangan multilateral dan globalisasi, terutama melalui inisiatif ambisius seperti Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI), yang menghubungkan Tiongkok dengan puluhan negara di Asia, Afrika, dan Eropa melalui investasi infrastruktur raksasa. Narasi ini secara langsung berhadapan dengan retorika “America First” dan kebijakan proteksionis yang diusung oleh administrasi AS sebelumnya, yang cenderung menarik diri dari perjanjian perdagangan internasional dan memberlakukan tarif impor.
Perbedaan pendekatan ini sangat mencolok. Ketika AS memilih untuk memberlakukan batasan perdagangan dan mempertanyakan institusi multilateral, Tiongkok secara aktif berpartisipasi dan bahkan membentuk kerangka kerja ekonominya sendiri. Langkah-langkah ini, terlepas dari kritik dan kekhawatiran tentang motif jangka panjang Tiongkok, memberikan kesan bahwa Beijing siap untuk mengambil peran sebagai juara globalisasi dan perdagangan bebas, sebuah peran yang secara tradisional diemban oleh Amerika Serikat.
Pengamat politik internasional Dr. Siti Rahma dari Pusat Studi Geopolitik Universitas Indonesia berpendapat, “Langkah-langkah sederhana dari Beijing kini terlihat monumental karena kekosongan kepemimpinan yang ditinggalkan Washington. Ini bukan hanya tentang kebijakan, melainkan tentang narasi siapa yang siap memimpin dunia ke depan. Tiongkok dengan cerdik memanfaatkan peluang ini untuk memperkuat posisinya sebagai kekuatan global yang bertanggung jawab.”
Fenomena ini bukan hanya tentang perubahan kebijakan, tetapi juga tentang pergeseran persepsi dan ekspektasi di panggung internasional. Bagi banyak negara, terutama di kawasan Asia dan Afrika, Tiongkok semakin dipandang sebagai mitra yang andal dan sumber investasi, sementara AS perlu bekerja keras untuk membangun kembali kepercayaan dan pengaruhnya. Pada 27 September 2025, situasi ini menggarisbawahi tantangan signifikan bagi negara-negara Barat untuk meninjau kembali strategi keterlibatan global mereka di tengah bangkitnya kekuatan Tiongkok.
Secara keseluruhan, janji-janji Tiongkok di PBB, meskipun mungkin terlihat seperti langkah-langkah biasa dalam konteks diplomatik, mendapatkan bobot dan makna yang luar biasa besar. Hal ini terjadi karena kontras yang mencolok dengan kemunduran yang dipersepsikan dari Amerika Serikat dalam kepemimpinan global. Dengan demikian, Tiongkok tidak hanya mengambil langkah-langkah untuk kepentingannya sendiri, tetapi juga secara tidak langsung mengukir ulang peta kekuatan global, menetapkan ekspektasi baru bagi kepemimpinan internasional di masa depan.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda
