Kunjungan Trump ke Skotlandia Menguak Kontras Sentimen Brexit

Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru-baru ini kembali mengunjungi Skotlandia, sebuah perjalanan yang tak terhindarkan membangkitkan kenangan akan kunjungannya pada tahun 2016. Saat itu, ia secara vokal mendukung keluarnya Inggris dari Uni Eropa, sebuah keputusan yang kini, menurut berbagai survei, disesali oleh mayoritas warga Inggris. Kunjungan ini, yang sebagian besar bersifat pribadi dan terkait dengan kepemilikan resor golfnya, kembali menyoroti pandangan kontroversial Trump terhadap geopolitik dan pergeseran opini publik di Inggris Raya.
Prediksi 2016 dan Dukungan Brexit
Pada periode menjelang pemilu Presiden AS tahun 2016, Donald Trump melakukan kunjungan ke Skotlandia. Di sana, ia dengan lantang menyatakan dukungannya terhadap hasil referendum Brexit yang baru saja dimenangkan. Lebih dari sekadar persetujuan, Trump kala itu secara jitu memprediksi bahwa “kekuatan-kekuatan” yang mendorong Brexit—yaitu sentimen anti-kemapanan, nasionalisme, dan keinginan untuk mengembalikan kedaulatan—tidak akan berhenti di Inggris saja, melainkan akan melampaui batas-batasnya dan memengaruhi dinamika politik di negara-negara Barat lainnya. Prediksi ini terbukti memiliki kebenaran seiring dengan gelombang populisme yang kemudian menyapu Eropa dan Amerika Serikat, termasuk kemenangannya sendiri dalam pemilihan presiden beberapa bulan kemudian.
Bagi Trump, Brexit adalah manifestasi dari aspirasi rakyat untuk melepaskan diri dari birokrasi dan kendali supranasional, sebuah narasi yang ia gunakan pula untuk menarik dukungan di dalam negeri AS. Kunjungannya ke resor golfnya di Turnberry, Ayrshire, pada waktu itu diwarnai dengan pernyataan-pernyataan yang menggemakan semangat “mengambil kembali kendali” yang menjadi slogan utama kampanye Brexit. Ia melihat Brexit sebagai sebuah kemenangan bagi kedaulatan nasional dan sebuah model bagi negara-negara lain yang mungkin merasa terbebani oleh perjanjian internasional atau organisasi multinasional.
Pergeseran Sentimen Publik Inggris
Namun, delapan tahun setelah referendum bersejarah itu, dan beberapa tahun pasca-Inggris secara resmi meninggalkan Uni Eropa pada tahun 2020, sentimen publik di Inggris Raya telah bergeser secara signifikan. Data dari berbagai lembaga survei terkemuka, seperti YouGov dan Ipsos MORI, secara konsisten menunjukkan bahwa mayoritas warga Inggris kini percaya bahwa keputusan untuk keluar dari Uni Eropa adalah sebuah kesalahan. Angka-angka ini seringkali menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden menyatakan penyesalan, jauh melampaui persentase yang mendukung Brexit pada tahun 2016.
Penyesalan ini muncul di tengah berbagai tantangan ekonomi dan sosial yang dikaitkan dengan Brexit. Inggris telah menghadapi hambatan perdagangan baru dengan pasar tunggal Uni Eropa, penurunan investasi, kesulitan dalam sektor-sektor tertentu akibat kekurangan tenaga kerja, dan gejolak politik yang berkepanjangan terkait Protokol Irlandia Utara. Harapan akan “Inggris Global” yang makmur dan lebih independen belum sepenuhnya terwujud, dan biaya hidup terus meningkat, memicu pertanyaan tentang manfaat jangka panjang dari perpisahan tersebut.
“Perpecahan politik dan dampak ekonomi yang berkelanjutan dari Brexit telah mendorong sebagian besar warga Inggris untuk merefleksikan kembali keputusan monumental tahun 2016. Janji-janji manis tentang kemakmuran dan kedaulatan penuh terasa jauh dari kenyataan yang ada di lapangan saat ini, 26 July 2025.”
Kontras antara dukungan Trump yang tak tergoyahkan terhadap Brexit dan penyesalan yang meluas di Inggris menyoroti kompleksitas keputusan politik berskala besar dan konsekuensi jangka panjangnya. Meskipun kunjungan terbaru Trump ke Skotlandia mungkin hanya sebatas urusan bisnis pribadi, kehadirannya secara simbolis mengingatkan kembali pada salah satu momen paling penting dalam sejarah politik modern Inggris, dan bagaimana pandangan terhadapnya telah berubah drastis seiring berjalannya waktu.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda