Hukum Kertas, Realita Pahit: Korban Kekerasan Domestik di Tiongkok Terlantar
Di tengah citra Tiongkok sebagai negara adidaya yang terus berkembang, tersimpan realita pilu bagi ribuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Meskipun memiliki Undang-Undang Anti-Kekerasan Domestik yang progresif dan disahkan pada tahun 2016, sistem hukum negara itu justru dinilai gagal dalam memberikan perlindungan nyata, membiarkan para korban terjebak dalam lingkaran kekerasan akibat minimnya sumber daya dan kemauan politik.
Kesenjangan Antara Hukum dan Realitas Lapangan
Undang-Undang Anti-Kekerasan Domestik Tiongkok tahun 2016 secara ambisius dirancang untuk menawarkan perlindungan komprehensif, termasuk perintah perlindungan, intervensi polisi yang lebih cepat, dan bantuan hukum bagi korban. Di atas kertas, regulasi ini adalah langkah maju yang signifikan, menunjukkan komitmen pemerintah dalam mengatasi masalah yang selama ini dianggap tabu.
Namun, implementasinya di lapangan jauh dari harapan. Berbagai laporan dan kesaksian menunjukkan bahwa janji-janji hukum ini seringkali hanya menjadi retorika. Salah satu kendala utama adalah kurangnya sumber daya yang memadai. Penampungan korban KDRT sangat terbatas, petugas penegak hukum—terutama polisi—kurang terlatih dalam menangani kasus-kasus sensitif seperti KDRT, dan akses terhadap konseling atau bantuan hukum yang efektif masih sulit didapatkan. Anggaran yang dialokasikan untuk program-program anti-KDRT juga terbilang minim, menghambat upaya pencegahan dan rehabilitasi.
Selain itu, kemauan politik lokal menjadi faktor krusial yang melemahkan penegakan hukum. Di banyak daerah, aparat penegak hukum dan pejabat lokal masih cenderung menganggap KDRT sebagai “masalah keluarga” yang harus diselesaikan secara internal, bukan sebagai tindak pidana serius. Mediasi dan rekonsiliasi seringkali lebih diprioritaskan daripada penegakan hukum dan perlindungan korban, sebuah pendekatan yang justru membahayakan korban dan memberi impunitas kepada pelaku. Budaya konservatif yang mengutamakan keharmonisan keluarga di atas hak-hak individu juga turut memperparah situasi, membuat korban enggan melapor dan sistem enggan mengintervensi.
Banyak korban kekerasan dalam rumah tangga di Tiongkok seringkali menemukan diri mereka dalam posisi yang tidak menguntungkan, di mana sistem hukum yang seharusnya melindungi justru meminta mereka untuk ‘menyimpan masalah ini dalam keluarga’ demi menjaga keharmonisan sosial, sebuah mentalitas yang menghambat penegakan hukum.
Dampak pada Korban dan Seruan Perbaikan
Dampak dari kegagalan sistem ini sangat merugikan bagi para korban. Mereka seringkali merasa tidak berdaya, terisolasi, dan kehilangan kepercayaan pada lembaga yang seharusnya melindungi mereka. Ketika laporan mereka diabaikan, diremehkan, atau bahkan diolok-olok, korban menghadapi reviktimisasi yang mendalam, memperburuk trauma psikologis dan fisik yang mereka alami. Akses terhadap keadilan menjadi semakin jauh, memaksa banyak di antara mereka untuk kembali ke lingkungan yang penuh kekerasan.
Situasi ini menimbulkan seruan mendesak dari berbagai pihak, termasuk aktivis hak asasi manusia dan organisasi non-pemerintah, untuk reformasi yang lebih substantif. Mereka menuntut pelatihan yang lebih baik bagi polisi dan hakim, peningkatan alokasi anggaran untuk layanan dukungan korban, serta perubahan mendasar dalam pola pikir budaya yang meremehkan KDRT. Pentingnya penegakan hukum yang konsisten dan tegas di seluruh Tiongkok ditekankan sebagai kunci untuk memastikan bahwa Undang-Undang Anti-Kekerasan Domestik tidak hanya indah di atas kertas, tetapi juga efektif dalam praktiknya.
Mengingat urgensi masalah ini, pada 06 November 2025, komunitas internasional dan para pegiat hak asasi terus memantau situasi KDRT di Tiongkok, berharap adanya langkah konkret dari pemerintah untuk menutup kesenjangan antara janji hukum dan realitas pahit yang dihadapi ribuan korban.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda
