Jepang Menimbang Ulang Pasifisme: Warisan Hiroshima di Persimpangan Jalan

Delapan puluh tahun setelah kengerian bom atom di Hiroshima, sebuah pergeseran senyap namun signifikan mulai terasa di lanskap pemikiran Jepang. Narasi pasifisme mutlak yang selama ini menjadi pilar identitas nasional kini dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan fundamental. Banyak warga Jepang, terutama generasi muda, mulai mempertanyakan apakah ‘damai demi damai’ saja sudah cukup untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negara di tengah gejolak global yang semakin tak terduga.
Mengingat 07 August 2025, perdebatan ini semakin relevan. Konsep pasifisme Jepang yang mengakar kuat pada Pasal 9 Konstitusinya, yang secara eksplisit menolak perang sebagai alat kebijakan nasional dan melarang pemeliharaan angkatan bersenjata, kini berada di bawah pengawasan ketat. Meskipun telah lama ditafsirkan untuk memungkinkan adanya Pasukan Bela Diri (JSDF) untuk tujuan pertahanan, tekanan untuk meninjau kembali atau bahkan merevisi ketentuan ini semakin menguat.
Generasi Baru dan Realitas Geopolitik
Peristiwa tragis 6 Agustus 1945 telah mengukir janji pasifisme mendalam di hati bangsa Jepang. Selama puluhan tahun, pengalaman pahit itu menjadi landasan kebijakan luar negeri dan pertahanan Jepang, yang berpegang teguh pada prinsip tidak akan pernah lagi terlibat dalam konflik militer berskala besar. Namun, seiring berjalannya waktu, ingatan langsung akan perang mulai memudar. Generasi yang tidak mengalami langsung trauma tersebut kini mendominasi populasi.
Mereka tumbuh di era ancaman regional yang berbeda. Ancaman yang semakin kompleks dari Tiongkok, yang terus memperluas pengaruh maritimnya, dan uji coba rudal balistik berulang dari Korea Utara, telah menciptakan desakan baru untuk meninjau kembali doktrin pertahanan Jepang. Gejolak global, termasuk perang di Ukraina dan ketegangan di berbagai belahan dunia, semakin memperkuat persepsi bahwa lingkungan keamanan global telah berubah secara drastis.
Seorang pengamat politik senior, Hiroshi Tanaka, menyatakan, “Bagi banyak kaum muda, pasifisme bukan lagi soal trauma masa lalu yang harus dihindari, melainkan soal bagaimana menghadapi ancaman nyata di masa kini. Mereka melihat dunia yang lebih berbahaya dan merasa Jepang perlu memiliki kemampuan untuk membela diri secara efektif, bukan hanya mengandalkan aliansi.”
Transformasi Doktrin Pertahanan dan Debat Konstitusi
Pergeseran paradigma ini paling nyata terlihat dalam peningkatan anggaran pertahanan Jepang yang signifikan, dengan rencana mencapai 2% dari PDB, menyelaraskannya dengan standar NATO. Peningkatan ini tidak hanya berfokus pada modernisasi peralatan, tetapi juga pada pengembangan kemampuan *counterstrike* atau serangan balasan, sebuah langkah yang sebelumnya dianggap tabu di bawah interpretasi pasifis ketat Pasal 9. Ini menunjukkan tekad Jepang untuk tidak lagi hanya menjadi penerima keamanan, tetapi juga penyedia keamanan.
Bagi banyak kaum muda Jepang, pasifisme bukan lagi sekadar idealisme. Ini adalah pertanyaan pragmatis tentang bagaimana sebuah negara dapat bertahan di dunia yang penuh gejolak. Kita tidak ingin perang, tetapi kita juga tidak bisa menutup mata terhadap ancaman yang ada,” ujar Dr. Akio Sato, seorang pakar keamanan regional dari Universitas Keio, dalam sebuah seminar baru-baru ini.
Pemerintahan Jepang saat ini terus mendorong diskusi publik mengenai amandemen konstitusi, sebuah langkah yang, jika berhasil, akan menjadi perubahan paling signifikan dalam kebijakan pertahanan pasca-perang. Meskipun demikian, perlu ditekankan bahwa perubahan ini bukan berarti Jepang meninggalkan cita-cita perdamaian. Sebaliknya, ini adalah upaya untuk mendefinisikan ulang makna perdamaian di abad ke-21, di mana perdamaian yang berkelanjutan mungkin memerlukan kemampuan untuk mencegah agresi dan melindungi diri.
Jepang kini berada di persimpangan jalan, di mana warisan pasifisme mulia yang lahir dari tragedi masa lalu bertemu dengan realitas geopolitik yang keras di masa kini. Proses ini mungkin terasa kontroversial bagi sebagian pihak, namun bagi banyak warga Jepang, ini adalah langkah pragmatis untuk memastikan keamanan dan kemakmuran di masa depan. Perjalanan Jepang dalam menavigasi keseimbangan antara perdamaian abadi dan pertahanan diri yang kuat akan terus menjadi sorotan dunia.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda