Sumber gambar: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250617194541-7-641831/iran-bombardir-tel-aviv-turis-asing-ramai-ramai-lari-dari-israel
Saat berita serangan rudal Iran ke Tel Aviv membanjiri layar ponselku, jantungku berdebar kencang. Bukan cuma berita biasa, ini terasa nyata. Aku sedang liburan di Israel, menikmati keindahan kota tua Yerusalem dan pesona pantai Tel Aviv. Rencana liburan yang indah berubah jadi mimpi buruk dalam sekejap.
Sirine berbunyi nyaring, memecah kesunyian sore yang tadinya tenang. Bunyi itu, yang tadinya hanya aku dengar di film-film, kini benar-benar nyata. Suasana berubah drastis. Yang tadinya ramai, kini dipenuhi kepanikan. Orang-orang berlarian mencari perlindungan, wajah mereka pucat pasi. Aku pun tak terkecuali.
Rasanya seperti adegan di film perang,
gumamku dalam hati, sambil berlari mencari tempat aman.
Bandara Ben Gurion ditutup. Udara terasa tegang. Informasi yang beredar simpang siur. Yang jelas, kami harus keluar dari Israel sesegera mungkin. Kedutaan Indonesia, syukurlah, bergerak cepat. Mereka mengatur evakuasi melalui jalur darat ke Eilat, lalu menyeberang ke Sharm El Sheikh, Mesir. Perjalanan panjang dan menegangkan itu sungguh menguras emosi. Bayangan rudal yang mungkin jatuh sewaktu-waktu, membuat setiap detik terasa begitu lama. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa berdoa dan berharap semuanya akan baik-baik saja.
Di bus menuju Eilat, aku bertemu dengan banyak turis asing lainnya. Wajah-wajah lelah dan penuh kekhawatiran memenuhi bus itu. Ada yang berasal dari Eropa, Asia, bahkan Amerika. Kami semua berbagi cerita, berbagi rasa takut, berbagi harapan untuk segera sampai di tempat yang aman. Di antara kekacauan itu, ada juga rasa solidaritas yang terbentuk. Kami saling menguatkan, saling membantu.
Dalam situasi seperti ini, kita semua sama,
kata seorang turis asal Jerman, yang menjadi teman bicaraku di bus.
Perjalanan dari Israel ke Mesir bukan cuma perjalanan fisik, tapi juga perjalanan emosional. Aku merasa seperti telah melewati berbagai macam emosi dalam waktu singkat: kegembiraan, kekhawatiran, kepanikan, dan rasa syukur. Walaupun pengalaman ini traumatis, aku belajar banyak hal. Aku belajar betapa pentingnya bersiap menghadapi situasi tak terduga, betapa berharganya rasa solidaritas manusia, dan betapa kecilnya kita di hadapan kekuatan alam.
Perjalanan ini mungkin traumatis, tapi ini juga mengajariku banyak hal tentang kehidupan,
tulisku di jurnal pribadi.
Kini, aku telah kembali ke rumah dengan selamat. Meskipun masih ada rasa trauma, aku bersyukur bisa pulang. Kisah ini menjadi pengingat akan pentingnya kewaspadaan dan antisipasi terhadap situasi yang tidak terduga. Israel, dengan semua keindahannya, kini menjadi kenangan yang bercampur aduk dengan rasa takut dan syukur.