KDRT di Tiongkok: Ketika Korban Didorong untuk ‘Menyimpan Rahasia Keluarga’
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Tiongkok terus menjadi isu pelik yang menyoroti jurang lebar antara kerangka hukum yang tampak progresif dan realitas suram yang dihadapi para korban. Hingga 06 November 2025, meskipun memiliki undang-undang anti-kekerasan domestik yang secara formal ada, sistem hukum negara ini seringkali gagal memberikan perlindungan yang memadai, meninggalkan para penyintas dalam kondisi rentan dan tidak berdaya.
Studi kasus dan laporan dari berbagai organisasi menunjukkan bahwa janji perlindungan hukum seringkali hanya ‘di atas kertas’, tanpa didukung oleh sumber daya yang memadai atau kemauan politik yang kuat untuk penegakan efektif. Akibatnya, alih-alih mendapatkan keadilan dan perlindungan, banyak korban KDRT justru didorong untuk ‘menyimpan masalah ini di dalam keluarga’, sebuah praktik yang memperpetuasi siklus kekerasan dan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Hukum di Atas Kertas vs. Realita Pahit
Pada tahun 2016, Tiongkok mengesahkan Undang-Undang Anti-Kekerasan Domestik, sebuah langkah monumental yang secara luas dipuji sebagai kemajuan signifikan dalam upaya melindungi hak-hak perempuan dan anggota keluarga lainnya. Regulasi ini mencakup definisi yang lebih luas tentang kekerasan domestik, termasuk kekerasan psikologis, dan memperkenalkan mekanisme seperti perintah perlindungan untuk menjauhkan pelaku dari korban.
Namun, dari sudut pandang para korban, aktivis hak asasi manusia, dan pengamat internasional, implementasi undang-undang ini jauh dari harapan. Para kritikus menunjuk pada kurangnya alokasi sumber daya untuk penegakan hukum dan keengganan politik untuk secara serius mengatasi masalah ini sebagai akar permasalahan. Seringkali, insiden kekerasan domestik yang dilaporkan ke polisi dianggap sebagai ‘masalah keluarga’ yang harus diselesaikan secara pribadi, bukan sebagai pelanggaran hukum serius yang memerlukan intervensi negara. Prosedur untuk mendapatkan perintah perlindungan kerap berbelit-belit dan sulit diakses, terutama bagi korban yang secara finansial atau sosial berada dalam posisi rentan.
Tekanan Sosial dan Kurangnya Sumber Daya
Di balik kerangka hukum yang goyah, terdapat pula tekanan sosial dan budaya yang kuat yang memperparah penderitaan korban KDRT. Budaya Tiongkok yang menghargai harmoni keluarga dan ‘menjaga muka’ (mianzi) seringkali memaksa korban untuk bungkam dan menanggung penderitaan mereka sendiri. Mereka kerap didorong oleh anggota keluarga, tetangga, bahkan terkadang pihak berwenang, untuk ‘menyelesaikan masalah di dalam keluarga’ demi menjaga reputasi dan menghindari aib publik. Hal ini menciptakan lingkungan di mana laporan kekerasan kerap tidak ditanggapi serius, atau bahkan diremehkan.
Kurangnya tempat penampungan (shelter) yang memadai, pusat krisis, serta tenaga profesional terlatih—baik dari kepolisian, pekerja sosial, maupun penasihat hukum—turut menjadi penghalang krusial. Korban yang berani melapor seringkali menemukan diri mereka tanpa dukungan yang diperlukan, menghadapi birokrasi yang lamban dan masyarakat yang kurang empatik. Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana kekerasan terus berulang tanpa adanya jalan keluar yang jelas bagi para penyintas.
Seorang aktivis hak perempuan yang enggan disebutkan namanya, dalam sebuah wawancara dengan media internasional baru-baru ini, mengungkapkan keprihatinannya:
“Undang-undang kami mungkin terlihat bagus di atas kertas, tetapi tanpa kemauan politik yang kuat dan alokasi sumber daya yang memadai, itu hanyalah janji kosong bagi banyak wanita yang menderita. Mereka diberitahu untuk ‘tetap menyimpannya di keluarga’, seolah-olah martabat dan keselamatan mereka adalah hal yang bisa dinegosiasikan.”
Situasi ini menggarisbawahi tantangan besar bagi Tiongkok untuk beralih dari sekadar memiliki undang-undang menjadi negara yang benar-benar melindungi warganya dari kekerasan. Reformasi hukum saja tidak cukup; diperlukan perubahan budaya, peningkatan kesadaran publik, pelatihan yang komprehensif bagi aparat penegak hukum, dan investasi besar dalam layanan dukungan bagi korban. Hingga perubahan fundamental ini terjadi, ribuan korban kekerasan domestik di Tiongkok akan terus terperangkap dalam sistem yang seharusnya melindungi mereka, namun justru terasa seperti jebakan.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda
