Kekerasan Mencekam Nepal: 19 Tewas dalam Protes Larangan Medsos dan Korupsi

KATHMANDU, Nepal – Ketegangan politik di Nepal memuncak setelah aksi protes besar-besaran berubah menjadi kekerasan mematikan, menewaskan sedikitnya 19 orang dan melukai ratusan lainnya. Insiden ini terjadi beberapa hari setelah pemerintah Nepal menerapkan larangan terhadap sebagian besar platform media sosial, memicu kemarahan publik yang sudah frustrasi dengan isu korupsi yang merajalela.
Pada 08 September 2025, ribuan demonstran menyerbu kompleks Parlemen di ibu kota Kathmandu, berhadapan langsung dengan pasukan keamanan dalam bentrokan sengit. Media berita lokal melaporkan bahwa rumah sakit di seluruh kota kewalahan menerima korban, dengan banyak yang menderita luka tembak, benturan, dan sesak napas akibat gas air mata.
Aksi protes ini, yang awalnya dimulai sebagai bentuk penolakan terhadap pembatasan akses informasi, dengan cepat meluas menjadi seruan yang lebih luas untuk reformasi pemerintahan dan pemberantasan korupsi. Para pengunjuk rasa menuduh pemerintah menggunakan larangan media sosial sebagai upaya untuk membungkam kritik dan menyembunyikan praktik-praktik tidak transparan.
Krisis Politik dan Tuntutan Rakyat
Keputusan pemerintah untuk melarang platform media sosial utama, seperti Facebook, X (sebelumnya Twitter), dan TikTok, pekan lalu disambut dengan kecaman luas dari aktivis hak asasi manusia dan masyarakat sipil. Pemerintah berdalih larangan tersebut diperlukan untuk memerangi “informasi palsu” dan “ujaran kebencian”, namun para kritikus melihatnya sebagai langkah otoriter untuk membatasi kebebasan berekspresi.
Di balik isu larangan media sosial, terdapat kemarahan yang mendalam terkait korupsi endemik yang telah lama membelenggu Nepal. Berbagai laporan dan survei menunjukkan tingkat korupsi yang tinggi di berbagai sektor pemerintahan, menghambat pembangunan ekonomi dan memperlebar kesenjangan sosial. Insiden ini merupakan puncak dari akumulasi ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah.
Saksi mata menggambarkan adegan kekacauan saat massa menerobos barikade keamanan di sekitar Parlemen. “Kami hanya ingin suara kami didengar. Mereka mengambil hak kami untuk berbicara, dan mereka terus mencuri dari kami,” ujar seorang demonstran yang menolak disebutkan namanya, kepada media setempat. Polisi menggunakan pentungan, gas air mata, dan dilaporkan menembakkan peluru karet, bahkan peluru tajam, untuk membubarkan kerumunan.
“Situasi ini sangat mengkhawatirkan. Eskalasi kekerasan ini menunjukkan bahwa pemerintah perlu mendengarkan tuntutan rakyat dan menahan diri dari penggunaan kekuatan berlebihan. Kebebasan berekspresi adalah hak fundamental yang harus dilindungi, bukan dibungkam,” kata seorang analis politik dari Universitas Tribhuvan, Dr. Sharma, dalam sebuah pernyataan.
Reaksi Internasional dan Kekhawatiran Masa Depan
Kabar mengenai kekerasan di Nepal telah menarik perhatian komunitas internasional. Beberapa organisasi hak asasi manusia menyerukan penyelidikan independen atas kematian dan cedera yang terjadi, serta mendesak pemerintah Nepal untuk menghormati hak asasi manusia dan kebebasan sipil. PBB dilaporkan sedang memantau situasi dengan cermat dan menyerukan semua pihak untuk menahan diri.
Masa depan politik Nepal kini berada di persimpangan jalan. Kekerasan yang terjadi dan kematian puluhan warga sipil berpotensi memperdalam krisis dan memicu gelombang protes yang lebih besar. Pemerintah menghadapi tekanan besar untuk menanggapi tuntutan demonstran dan mempertimbangkan kembali kebijakan larangan media sosial yang kontroversial.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Perdana Menteri Nepal mengenai insiden penyerbuan Parlemen atau jumlah korban jiwa yang terus bertambah. Jalan-jalan di Kathmandu tetap dipenuhi ketegangan, dengan kehadiran pasukan keamanan yang diperketat, sementara warga Nepal berharap adanya resolusi damai terhadap krisis yang mencekam ini.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda