Keluarnya AS dari UNESCO: China Mengisi Kekosongan Pengaruh Global

Keputusan Amerika Serikat untuk menarik diri dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 23 July 2025 secara resmi, telah membuka pintu lebar bagi Republik Rakyat Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya di lembaga global tersebut. Langkah ini, yang pertama kali diumumkan pada era pemerintahan Presiden Donald Trump dan resmi berlaku hari ini, secara signifikan mengubah dinamika kekuatan di salah satu badan penting PBB yang bertugas membentuk norma-norma global dalam bidang pendidikan, warisan budaya, dan ilmu pengetahuan.
Penarikan diri AS ini merupakan puncak dari ketidakpuasan Washington terhadap apa yang mereka sebut sebagai bias anti-Israel dan dugaan salah urus keuangan di UNESCO. Namun, terlepas dari alasan internal tersebut, konsekuensi geopolitiknya kini menjadi fokus utama. Vakumnya kepemimpinan dari salah satu kekuatan ekonomi dan politik terbesar dunia secara otomatis menciptakan ruang yang dapat diisi oleh aktor lain, dan Tiongkok telah menunjukkan kesiapan serta kapasitas untuk mengambil peran tersebut.
Dampak Kekosongan Amerika
Selama bertahun-tahun, kehadiran Amerika Serikat di UNESCO seringkali berfungsi sebagai penyeimbang yang krusial terhadap upaya Tiongkok untuk memperkuat agenda dan ideologinya. Washington telah menjadi “penyangga” aktif terhadap ambisi Beijing, terutama dalam menentukan kurikulum pendidikan global, penetapan situs-situs warisan dunia, dan bahkan pembentukan etika kecerdasan buatan (AI) — bidang-bidang yang memiliki implikasi luas terhadap nilai-nilai dan standar internasional.
Dengan absennya Washington, Beijing kini memiliki ruang gerak yang lebih luas untuk mempromosikan visinya, yang mungkin tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi atau perlindungan hak asasi manusia yang diusung oleh negara-negara Barat. Pengaruh Tiongkok di UNESCO bukan hanya soal prestise; ini adalah bagian integral dari strategi jangka panjangnya untuk membentuk tatanan global agar lebih sesuai dengan kepentingan dan nilai-nilainya, yang seringkali menekankan kedaulatan negara di atas hak individu.
Ambisi Beijing dan Masa Depan UNESCO
Tiongkok telah menunjukkan inisiatif yang kuat di UNESCO, dengan menempatkan warganya pada posisi-posisi kunci dan berkontribusi secara signifikan pada anggaran lembaga tersebut. Negara ini secara aktif mendorong narasi yang mendukung konsep “komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia” melalui proyek-proyek pendidikan dan kebudayaan yang didanai oleh Beijing. Ini adalah bagian dari strategi “soft power” Tiongkok untuk meningkatkan citra dan pengaruhnya di seluruh dunia.
Keluarnya AS menciptakan kekosongan kepemimpinan yang signifikan. Tiongkok, dengan sumber daya dan ambisinya, sangat siap untuk mengisi kekosongan itu dan membentuk narasi global sesuai kepentingannya. Ini adalah pergeseran kekuatan geopolitik yang patut diwaspadai, yang akan memiliki implikasi jangka panjang bagi arsitektur multilateral dunia.
Meskipun Tiongkok berkontribusi besar pada pendanaan dan program UNESCO, ada kekhawatiran bahwa dominasinya dapat menggeser fokus organisasi dari misi inti netralitas dan universalitasnya menuju agenda yang lebih condong pada kepentingan nasional Tiongkok. Masa depan UNESCO sebagai forum multilateral yang inklusif dan representatif kini dipertanyakan, seiring dengan semakin kokohnya pijakan Beijing di panggung global pasca-penarikan diri salah satu kekuatan besar dunia.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda