Kemarahan Pengungsi Ukraina: ‘Alaska Summit’ Hina Kedaulatan Tanah Air

Kyiv, 18 August 2025 – Ribuan pengungsi Ukraina yang kini berlindung di berbagai fasilitas darurat di wilayah timur negara itu melampiaskan kemarahan mereka terhadap wacana pertukaran wilayah dengan Rusia demi perdamaian. Usulan, yang beberapa kali diembuskan oleh pihak-pihak internasional dan sempat disebut-sebut dalam konteks ‘Alaska Summit’ atau pertemuan diplomatik serupa, dianggap sebagai penghinaan terhadap kedaulatan dan pengorbanan rakyat Ukraina.
Suara dari Garis Depan: Kemarahan di Tengah Keterasingan
Di sebuah tempat penampungan darurat yang terletak di dekat garis depan, di mana ratusan jiwa mencari perlindungan dari gempuran rudal dan artileri, suasana tegang bercampur dengan kemarahan yang membara. Wajah-wajah lelah dan mata yang dipenuhi trauma berubah menjadi sorot tajam saat topik mengenai “menyerahkan tanah” diangkat. Bagi mereka, gagasan itu bukan hanya tak terpikirkan, tetapi juga merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan dan nyawa yang telah hilang.
“Kami telah kehilangan rumah, keluarga, dan segala yang kami miliki. Ribuan orang telah tewas membela setiap jengkal tanah ini. Bagaimana mungkin ada pihak yang berani mengusulkan agar kami menyerahkan sebagian dari negara kami kepada agresor?” ujar Olena Petrova, 48 tahun, seorang pengungsi dari Bakhmut yang kini tinggal di penampungan tersebut, dengan suara bergetar menahan emosi.
Sentimen ini bergema di antara para pengungsi lainnya. Mereka melihat usulan semacam itu sebagai upaya untuk melegitimasi agresi Rusia dan mengabaikan prinsip-prinsip hukum internasional mengenai integritas teritorial. Bagi mereka, tanah yang diperjuangkan dengan darah adalah bagian tak terpisahkan dari identitas nasional dan warisan leluhur yang tak ternilai.
“Ini bukan sekadar tanah. Ini adalah warisan kami, makam nenek moyang kami. Mengapa kami harus menyerahkannya? Itu sama saja dengan meminta korban untuk mencium tangan penyerangnya. Ide seperti itu sama sekali tidak realistis dan menunjukkan ketidakpahaman yang mendalam terhadap realitas di lapangan dan semangat rakyat Ukraina. Kami berjuang untuk kebebasan, bukan untuk tawar-menawar tanah.”
— Volodymyr Demchenko, 62 tahun, pengungsi dari Donetsk
Konteks Diplomatik dan Pukulan terhadap Moralitas
Wacana “Alaska Summit” mengacu pada serangkaian diskusi atau usulan hipotetis dari beberapa lingkaran diplomatik internasional yang mencoba mencari jalan keluar dari konflik berkepanjangan ini, seringkali dengan ide-ide yang melibatkan konsesi wilayah. Meskipun tidak pernah ada pertemuan resmi bernama “Alaska Summit” yang mengesahkan rencana tersebut, gagasan tentang pertukaran tanah demi perdamaian telah berulang kali muncul dalam narasi media dan diskusi tertutup.
Pemerintah Ukraina sendiri telah berulang kali menegaskan bahwa mereka tidak akan menyerahkan satu inci pun wilayah mereka kepada Rusia. Presiden Volodymyr Zelenskyy secara konsisten menyatakan bahwa integritas teritorial Ukraina tidak dapat dinegosiasikan. Posisi ini didukung oleh mayoritas publik Ukraina, yang melihat setiap upaya untuk melegitimasi aneksasi wilayah oleh Rusia sebagai preseden berbahaya bagi ketertiban dunia.
Reaksi keras dari para pengungsi ini menyoroti jurang pemisah antara realitas pahit di lapangan dan beberapa usulan diplomatik yang mungkin didasarkan pada perhitungan geopolitik. Bagi mereka yang telah kehilangan segalanya dan menyaksikan kengerian perang secara langsung, ide pertukaran tanah bukan hanya masalah politik, tetapi juga masalah moralitas dan kehormatan. Ini adalah pukulan telak terhadap semangat juang dan pengorbanan yang telah mereka berikan.
Sentimen yang menggebu-gebu dari para pengungsi ini menjadi pengingat tajam bagi komunitas internasional bahwa setiap solusi damai untuk konflik di Ukraina harus menghormati kedaulatan, integritas teritorial, dan, yang terpenting, martabat dan pengorbanan rakyat Ukraina.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda