Krisis Kelaparan Gaza: Israel Terus Terisolasi di Kancah Global

Per 01 August 2025, situasi kemanusiaan di Jalur Gaza telah mencapai titik kritis, dengan laporan-laporan tentang kelaparan massal, khususnya di kalangan anak-anak, memicu gelombang kemarahan global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kondisi ini, yang diperparah oleh kebijakan dan operasi militer pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, telah menempatkan Israel pada posisi yang semakin terisolasi di panggung dunia. Kemarahan publik internasional terhadap tindakan pemerintah Israel telah meningkat secara signifikan sejak pecahnya perang, dan penderitaan anak-anak di wilayah kantong tersebut telah mempercepat tingkat ketidakpuasan global dan memperdalam penolakan terhadap Tel Aviv.
Organisasi-organisasi kemanusiaan terkemuka telah berulang kali memperingatkan tentang krisis kelaparan yang akut, terutama di wilayah utara Gaza, di mana akses bantuan sangat terbatas. PBB dan berbagai lembaga bantuan internasional melaporkan bahwa lebih dari sejuta warga Gaza menghadapi tingkat kerawanan pangan yang parah, dan ratusan ribu lainnya berada di ambang kelaparan. Situasi ini diperburuk oleh blokade yang ketat dan hambatan yang signifikan terhadap masuknya bantuan kemanusiaan, termasuk makanan, air bersih, dan pasokan medis. Gambar-gambar anak-anak yang kurus kering dan laporan tentang kematian akibat malnutrisi telah menyebar luas, mengguncang nurani global dan meningkatkan seruan untuk tindakan segera.
Peningkatan Tekanan Internasional dan Kecaman Keras
Krisis kemanusiaan yang memburuk di Gaza telah memicu respons yang kuat dari berbagai negara, lembaga internasional, dan organisasi non-pemerintah. Banyak pihak menuding Israel melanggar hukum kemanusiaan internasional dengan membatasi pasokan penting dan tidak memastikan perlindungan warga sipil. Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan beberapa resolusi yang menuntut gencatan senjata dan akses bantuan tanpa hambatan, meskipun beberapa di antaranya diveto oleh sekutu utama Israel.
Kecaman tidak hanya datang dari negara-negara Arab atau berkembang, tetapi juga dari sekutu-sekutu tradisional Israel di Barat, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa. Meskipun negara-negara ini tetap mendukung hak Israel untuk mempertahankan diri, mereka semakin vokal dalam menyuarakan keprihatinan atas dampak kemanusiaan dari operasi militer Israel. Insiden penargetan konvoi bantuan dan fasilitas sipil juga telah memicu kecaman keras, meningkatkan tekanan bagi Israel untuk mengubah pendekatannya. Pemerintah Netanyahu dituding gagal memenuhi kewajiban internasionalnya dalam melindungi warga sipil dan memastikan masuknya bantuan vital, yang semakin memperburuk krisis kemanusiaan.
“Tidak ada justifikasi moral atau hukum untuk penderitaan yang kita saksikan di Gaza, terutama di kalangan anak-anak yang tidak bersalah. Dunia tidak bisa berpaling. Setiap hari tanpa bantuan yang memadai adalah noda pada hati nurani kolektif kita dan merusak fondasi hukum internasional,” ujar seorang diplomat senior PBB yang tidak ingin disebutkan namanya, menggarisbawahi urgensi situasi tersebut.
Dampak Diplomatik dan Potensi Konsekuensi Jangka Panjang
Isolasi Israel tidak hanya tercermin dari resolusi PBB atau pernyataan kecaman, tetapi juga dari pergeseran sikap negara-negara sekutu tradisional. Beberapa negara yang sebelumnya mendukung Israel kini mulai menarik dukungan atau bahkan mempertimbangkan sanksi, menyusul desakan publik domestik mereka. Hubungan diplomatik telah tegang, dan Israel menghadapi tekanan yang meningkat untuk menghentikan operasi militernya di Gaza dan membiarkan masuknya bantuan tanpa batas.
Selain itu, kasus yang diajukan terhadap Israel di Mahkamah Internasional (ICJ) atas tuduhan genosida, serta investigasi terpisah oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), menambah beban diplomatik bagi Israel, mengancam reputasinya di mata hukum internasional. Penderitaan anak-anak Gaza, yang menjadi simbol paling menyedihkan dari konflik ini, telah menjadi katalisator utama bagi pergeseran opini global, mendorong banyak pihak untuk mengevaluasi kembali hubungan mereka dengan Tel Aviv dan mempertanyakan legitimasi operasi militernya. Dampak jangka panjang dari isolasi ini diperkirakan akan mempengaruhi hubungan ekonomi, keamanan, dan diplomatik Israel selama bertahun-tahun yang akan datang.
Krisis kemanusiaan di Gaza, yang mencapai puncaknya dengan ancaman kelaparan massal, telah mengubah dinamika hubungan internasional Israel secara drastis. Meskipun Israel bersikukuh pada haknya untuk mempertahankan diri dan melumpuhkan Hamas, narasi global semakin fokus pada konsekuensi kemanusiaan dari tindakannya. Tantangan terbesar bagi pemerintah Netanyahu saat ini bukan hanya di medan perang, tetapi juga dalam memulihkan kredibilitas dan posisinya di mata komunitas internasional yang semakin kritis dan terpecah belah.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda