Masa Depan Pasifisme Jepang Pasca-Hiroshima: Antara Ideal dan Realitas

Hampir delapan dekade setelah kota Hiroshima hancur lebur oleh bom atom, Jepang, sebuah negara yang selama ini dikenal teguh memegang prinsip pasifisme konstitusionalnya, kini menghadapi perdebatan mendalam. Sebuah gagasan yang dulunya tak tergoyahkan – bahwa perdamaian harus diupayakan demi perdamaian itu sendiri – kini mulai dipertanyakan oleh sebagian kalangan, yang menganggapnya tak lagi memadai dalam lanskap geopolitik global yang bergejolak. Pada 07 August 2025, isu ini semakin mendominasi diskursus publik dan politik, menandai potensi pergeseran fundamental dalam identitas dan kebijakan luar negeri Jepang.
Pergeseran Paradigma Keamanan Nasional
Sejak akhir Perang Dunia II, Konstitusi Jepang, khususnya Pasal 9, telah secara eksplisit menolak perang sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa internasional dan melarang pembentukan angkatan bersenjata. Doktrin pasifisme ini, yang lahir dari trauma Hiroshima dan Nagasaki, telah menjadi landasan kebijakan luar negeri dan keamanan Jepang selama puluhan tahun. Angkatan Bela Diri Jepang (SDF), meskipun memiliki kapabilitas militer yang canggih, secara resmi hanya berfungsi untuk pertahanan diri dan bantuan bencana.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ancaman keamanan di kawasan Asia-Pasifik telah meningkat secara signifikan. Ekspansi militer Tiongkok yang agresif di Laut Cina Selatan dan Timur, pengembangan rudal balistik serta program nuklir Korea Utara yang terus-menerus, hingga invasi Rusia ke Ukraina yang mengguncang tatanan global, telah memicu kekhawatiran serius di Tokyo. Peristiwa-peristiwa ini membuat banyak pihak di Jepang, termasuk para pembuat kebijakan dan analis strategis, mempertanyakan relevansi dan efektivitas pasifisme mutlak dalam melindungi kepentingan nasional.
Sebagai respons, pemerintah Jepang telah mulai mengambil langkah-langkah yang sebelumnya dianggap tabu. Anggaran pertahanan terus meningkat secara signifikan, dengan target mencapai 2% dari PDB dalam beberapa tahun ke depan, setara dengan standar NATO. Jepang juga aktif dalam memperkuat aliansi keamanannya dengan Amerika Serikat dan membangun kemitraan strategis baru dengan negara-negara seperti Australia, India, dan Inggris. Akuisisi kapabilitas serangan balik, yang memungkinkan Jepang menyerang pangkalan musuh jika diserang, adalah contoh nyata dari pergeseran doktrin ini.
Antara Ideal dan Realitas Geopolitik
Perdebatan mengenai masa depan pasifisme Jepang bukan sekadar masalah pragmatisme militer, melainkan juga pergulatan emosional dan filosofis yang mendalam. Bagi banyak warga Jepang, terutama generasi tua, peringatan Hiroshima dan Nagasaki adalah pengingat konstan akan kengerian perang dan pentingnya menghindari konflik militer dengan segala cara. Mereka memandang pasifisme sebagai warisan moral yang tak ternilai dan kontribusi unik Jepang bagi perdamaian dunia.
“Kedamaian adalah cita-cita luhur yang harus senantiasa kita perjuangkan,” ujar seorang analis kebijakan luar negeri senior yang enggan disebut namanya, merujuk pada prinsip yang telah lama dianut Jepang. “Namun, dalam dunia yang semakin tidak menentu ini, menjaga perdamaian hanya dengan mengandalkan idealisme semata adalah sebuah kemewahan yang tidak bisa lagi kita pertahankan. Kita perlu realisme dan kemampuan untuk melindungi diri.”
Di sisi lain, semakin banyak suara, terutama dari kalangan yang lebih muda dan berorientasi realis, berpendapat bahwa idealisme pasifisme tidak cukup untuk menghadapi ancaman nyata. Mereka berargumen bahwa penafsiran Pasal 9 yang sangat ketat telah membatasi kemampuan Jepang untuk membela diri secara efektif dan berkontribusi lebih besar pada keamanan regional. Wacana tentang amandemen konstitusi untuk secara eksplisit mengakui angkatan bersenjata dan hak pertahanan kolektif semakin menguat, meskipun masih menghadapi resistensi signifikan dari oposisi dan sebagian publik.
Perdebatan ini mencerminkan dilema yang dihadapi Jepang: bagaimana menyeimbangkan komitmen historisnya terhadap perdamaian dengan kebutuhan mendesak untuk menjaga keamanan nasional di tengah gejolak geopolitik. Keputusan yang diambil dalam beberapa tahun ke depan akan menentukan tidak hanya arah bangsa Jepang itu sendiri, tetapi juga keseimbangan kekuatan di Asia dan dunia, mengubah citra Jepang dari mercusuar pasifisme menjadi kekuatan yang lebih asertif dalam arena global.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda