Menara 11 Lantai Tak Berizin di Tiongkok Jadi Magnet Wisata

Di tengah hiruk pikuk pembangunan perkotaan Tiongkok yang serba cepat, sebuah fenomena tak biasa telah menarik perhatian dunia: sebuah rumah tinggal yang diubah menjadi menara setinggi 11 lantai yang terlihat rapuh, meskipun berulang kali menghadapi perintah pembongkaran dari otoritas setempat. Apa yang dimulai sebagai tindakan pembangkangan individu, kini telah bertransformasi menjadi daya tarik wisata yang unik, menarik ribuan pengunjung dari berbagai penjuru.
Kisah ini berpusat pada seorang pria di kota [Nama Kota Placeholder], Provinsi [Nama Provinsi Placeholder], yang identitasnya tidak diungkapkan secara luas oleh media lokal. Properti miliknya, yang semula adalah rumah biasa, berada di jalur proyek pembangunan atau revitalisasi lahan yang digagas pemerintah. Namun, alih-alih menerima tawaran kompensasi untuk pembongkaran, sang pemilik memutuskan untuk menentang dan secara perlahan, meninggikan bangunannya sendiri, lantai demi lantai, menggunakan bahan-bahan seadanya.
Simbol Perlawanan di Tengah Urbanisasi
Menara tak lazim ini menjadi salah satu contoh paling mencolok dari fenomena “rumah paku” (钉子户, dīngzihù) di Tiongkok. Istilah ini merujuk pada bangunan yang menolak untuk digusur atau dibongkar meskipun berada di tengah proyek pembangunan besar. Kasus semacam ini seringkali menyoroti ketegangan antara hak individu atas properti dan agenda pembangunan negara yang sentralistik. Dalam banyak kasus, pemilik “rumah paku” merasa tawaran kompensasi tidak adil atau tidak sebanding dengan nilai properti atau gangguan yang ditimbulkan oleh relokasi.
Pria pemilik menara ini, menurut laporan, bersikeras bahwa tanah dan propertinya adalah hak miliknya yang sah, dan ia menolak untuk menyerah pada tekanan. Proses pembangunan menara ini, yang dilakukan secara mandiri dan tanpa izin resmi, telah berlangsung selama bertahun-tahun, menimbulkan kekhawatiran tentang stabilitas struktural dan keselamatan publik. Meskipun demikian, pemerintah setempat dilaporkan menghadapi dilema; di satu sisi mereka harus menegakkan peraturan zonasi dan pembangunan, namun di sisi lain, tindakan paksa bisa memicu perhatian media yang tidak diinginkan dan potensi kerusuhan sosial.
Daya Tarik Wisata dan Perdebatan Hukum
Yang lebih mengejutkan, ketidakpatuhan sang pemilik dan keunikan arsitektur menara ini justru menciptakan daya tarik tersendiri. Wisatawan domestik maupun asing kini berbondong-bondong datang ke lokasi untuk melihat langsung struktur yang membingungkan ini dan mendengar kisah di baliknya. Mereka berfoto di depannya, mengabadikan keanehan dan keberanian di balik pembangunan menara tersebut. Kehadiran para wisatawan bahkan telah menciptakan ekosistem ekonomi kecil di sekitarnya, dengan munculnya pedagang kaki lima yang menjual makanan dan suvenir.
Meskipun menara ini telah menjadi ikon lokal, status hukumnya masih abu-abu. Pihak berwenang belum mengambil tindakan drastis, mungkin karena pertimbangan citra atau dampak sosial. Situasi ini memicu perdebatan di kalangan ahli hukum dan sosiolog tentang batas-batas kekuasaan negara dalam pembangunan perkotaan dan hak-hak individu.
“Kasus menara 11 lantai ini menyoroti ketegangan fundamental antara hak individu atas properti dan agenda pembangunan negara di Tiongkok,” kata Dr. Li Wei, seorang sosiolog perkotaan dari Universitas Peking. “Ini bukan hanya tentang sebuah bangunan, melainkan simbol perlawanan kecil terhadap kekuatan birokrasi yang lebih besar. Keberadaannya sebagai daya tarik wisata menunjukkan bagaimana narasi perlawanan bisa menjadi komoditas budaya yang menarik.”
Pada 19 July 2025, menara tersebut masih berdiri kokoh, menjadi saksi bisu dari pertarungan kehendak dan evolusi tak terduga sebuah kota. Ia adalah monumen paradoks: sebuah simbol perlawanan yang rapuh, namun kini berdiri tegak sebagai destinasi wisata yang ramai, mewakili kisah unik dalam lanskap urbanisasi Tiongkok.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda