Mundurnya AS dari UNESCO: Jalan Lapang Tiongkok Perluas Pengaruh Global

Keputusan kontroversial Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump untuk menarik diri dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) telah menciptakan kekosongan strategis yang dengan sigap dimanfaatkan oleh Tiongkok. Langkah AS ini, yang berlaku efektif pada akhir tahun 2018, secara fundamental mengubah dinamika geopolitik dalam salah satu lembaga multilateral kunci dunia, khususnya dalam membentuk narasi global di bidang pendidikan, penentuan warisan sejarah, hingga pengembangan etika kecerdasan buatan.
Sebelum penarikan tersebut, Washington secara historis berperan sebagai penyeimbang utama, atau “buffer,” terhadap upaya Beijing untuk menggunakan platform UNESCO guna memajukan kepentingannya di berbagai sektor. Kepergian AS tidak hanya menghilangkan sumber daya finansial dan keahlian diplomatik yang signifikan, tetapi juga mengikis kemampuan Barat untuk secara efektif menantang atau memoderasi agenda Tiongkok yang kian ambisius.
Kiprah AS di UNESCO dan Mundurnya Pemerintahan Trump
Amerika Serikat memiliki sejarah panjang dan kompleks dengan UNESCO. Sebagai salah satu negara pendiri dan penyumbang terbesar, pengaruh AS sangat terasa dalam kebijakan dan arah organisasi ini. Namun, hubungan tersebut tidak selalu mulus. AS pernah menarik diri dari UNESCO pada tahun 1984 di bawah Presiden Ronald Reagan, mengutip tuduhan salah urus keuangan dan bias anti-Barat, sebelum bergabung kembali pada tahun 2003 di bawah Presiden George W. Bush.
Penarikan terbaru oleh pemerintahan Trump pada Oktober 2017, yang secara resmi berlaku efektif pada 31 Desember 2018, didasarkan pada alasan serupa: kekhawatiran atas apa yang disebut sebagai bias anti-Israel dan dugaan salah urus. Langkah ini, meskipun sejalan dengan kebijakan “America First” yang cenderung skeptis terhadap multilateralisme, dianggap banyak pihak sebagai sebuah kemunduran bagi kepemimpinan AS di panggung global. Kehilangan kursi di Dewan Eksekutif dan Komite Warisan Dunia berarti AS tidak lagi memiliki suara formal dalam keputusan penting UNESCO, termasuk nominasi situs warisan dunia dan program-program pendidikan global.
Padahal, peran AS sangat krusial dalam menyeimbangkan berbagai kepentingan dan ideologi. Kehadiran diplomat dan pakar AS memastikan bahwa keputusan-keputusan UNESCO tidak sepenuhnya didominasi oleh satu blok atau negara, serta mendorong transparansi dan akuntabilitas. Dengan mundurnya AS, ruang bagi Tiongkok untuk bermanuver menjadi semakin terbuka lebar, tanpa filter atau penyeimbang yang kuat.
Meningkatnya Pengaruh Tiongkok dan Kekosongan Kebijakan Global
Sejak AS meninggalkan UNESCO, Tiongkok telah secara agresif mengisi kekosongan tersebut. Beijing melihat UNESCO sebagai platform vital untuk memajukan strategi “Belt and Road Initiative” (BRI) melalui proyek-proyek warisan budaya, serta untuk membentuk standar global di bidang-bidang krusial seperti etika kecerdasan buatan. Tiongkok telah meningkatkan kontribusinya secara finansial dan menempatkan lebih banyak warganya di posisi-posisi kunci dalam organisasi. Hal ini memungkinkan Tiongkok untuk memengaruhi kurikulum pendidikan, penetapan situs-situs bersejarah, dan bahkan perdebatan seputar etika AI, yang memiliki implikasi jangka panjang terhadap cara dunia memandang sejarah, budaya, dan teknologi.
Misalnya, dalam penentuan situs warisan dunia, Tiongkok diyakini berusaha untuk mempromosikan narasi yang selaras dengan kepentingan nasionalnya. Demikian pula, dalam diskusi tentang etika kecerdasan buatan, Tiongkok berupaya memengaruhi standar global yang mungkin lebih longgar terhadap pengawasan pemerintah dan pengumpulan data, sesuai dengan model tata kelola digitalnya sendiri.
“Absennya Amerika Serikat dari UNESCO adalah sebuah kerugian besar bagi upaya global dalam membangun konsensus dan menyeimbangkan kekuatan. Tiongkok telah dengan cerdas dan sistematis memanfaatkan kekosongan ini untuk mempromosikan agenda dan visinya sendiri, terutama di sektor-sektor strategis seperti pendidikan, budaya, dan teknologi. Ini bukan hanya tentang diplomasi, melainkan tentang siapa yang akan membentuk narasi dan standar dunia di masa depan.”
— Analis Geopolitik, Dr. Surya Dharma Wijaya, dalam sebuah wawancara pada 24 July 2025.
Kekosongan yang ditinggalkan oleh AS telah memberikan Tiongkok keleluasaan yang lebih besar untuk mendorong agenda kebijakan luar negerinya yang lebih luas, termasuk memperluas pengaruh “soft power” dan membentuk tata kelola global yang lebih sesuai dengan kepentingannya. Hingga 24 July 2025, meskipun pemerintahan Presiden Joe Biden telah menyatakan niatnya untuk kembali bergabung dengan UNESCO, prosesnya rumit dan membutuhkan persetujuan Kongres. Sementara itu, Tiongkok terus memperkuat posisinya, menjadikan persaingan global antara Washington dan Beijing semakin kompleks di berbagai arena multilateral.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda