Nepal Berdarah: 12 Tewas, Parlemen Diserbu dalam Protes Larangan Media Sosial

Kathmandu, Nepal – Gelombang demonstrasi mematikan melanda ibu kota Nepal, Kathmandu, pada 08 September 2025, menyusul pemberlakuan larangan pemerintah terhadap sebagian besar platform media sosial. Sedikitnya 12 orang dilaporkan tewas dan lebih dari 200 lainnya terluka dalam bentrokan sengit antara demonstran dan pasukan keamanan. Insiden memuncak dengan penyerbuan kompleks Parlemen oleh massa yang marah, menandai eskalasi dramatis dalam ketegangan politik negara itu.
Kekerasan ini terjadi beberapa hari setelah pemerintah Nepal memberlakukan kebijakan kontroversial yang memblokir akses ke platform-platform populer seperti Facebook, X (sebelumnya Twitter), TikTok, dan Instagram. Pemerintah beralasan langkah ini diperlukan untuk menekan penyebaran “disinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian” yang dinilai dapat mengancam stabilitas nasional. Namun, kritik keras segera bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat dan kelompok hak asasi manusia, yang menganggap larangan tersebut sebagai serangan terhadap kebebasan berekspresi dan akses informasi.
Kronologi Ketegangan dan Pemicu Protes
Ketegangan mulai memuncak sesaat setelah larangan media sosial diterapkan sekitar seminggu yang lalu. Ribuan warga Nepal, terutama kaum muda dan aktivis, turun ke jalan untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka. Awalnya, protes berlangsung damai, namun kian membesar dan semakin konfrontatif seiring dengan respons tegas dari aparat keamanan. Demonstran menuntut pencabutan segera larangan tersebut, menyoroti peran vital media sosial sebagai sarana komunikasi, organisasi, dan ruang publik untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Puncak kekerasan terjadi pada 08 September 2025, ketika kerumunan besar demonstran bergerak menuju kompleks Parlemen, yang dianggap sebagai simbol kekuasaan pemerintah. Saksi mata melaporkan bahwa ribuan orang meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah, beberapa di antaranya membawa spanduk yang menyerukan diakhirinya “sensor digital.” Ketika upaya untuk membubarkan massa dengan gas air mata dan pentungan gagal, situasi berubah menjadi ricuh. Pasukan keamanan dilaporkan menggunakan tembakan peringatan dan, dalam beberapa kasus, peluru tajam, untuk mengendalikan situasi, yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Menurut laporan dari media lokal yang dikutip oleh sejumlah kantor berita internasional, sebagian besar korban tewas adalah pemuda yang terlibat dalam demonstrasi garis depan. Tim medis darurat berjuang keras untuk menangani ratusan korban luka, banyak di antaranya menderita luka tembak, trauma benda tumpul, dan iritasi parah akibat gas air mata. Rumah sakit di Kathmandu kewalahan menampung pasien, dengan seruan mendesak untuk donor darah dilontarkan.
Tindakan Keras dan Gelombang Kecaman Global
Pemerintah Nepal belum memberikan pernyataan resmi terperinci mengenai jumlah korban tewas, namun telah mengecam tindakan “vandalisme dan kekerasan” oleh demonstran. Seorang juru bicara Kementerian Dalam Negeri menyatakan bahwa pasukan keamanan bertindak “sesuai prosedur standar untuk menjaga ketertiban umum,” dan mendesak masyarakat untuk “tetap tenang dan tidak terprovokasi oleh agitasi.” Pemerintah juga mengumumkan penyelidikan atas insiden tersebut, meskipun banyak pihak skeptis terhadap transparansinya.
“Hak asasi manusia untuk berekspresi dan mengakses informasi adalah pilar demokrasi. Tidak ada justifikasi bagi pemerintah untuk menumpas perbedaan pendapat dengan kekerasan brutal dan membatasi kebebasan digital warganya. Kami menyerukan penyelidikan independen dan transparan atas kematian dan cedera ini, serta pencabutan segera larangan media sosial.”
– Pernyataan dari Direktur Regional Amnesty International untuk Asia Selatan.
Insiden di Nepal ini telah menarik perhatian dan kecaman dari komunitas internasional. Organisasi-organisasi hak asasi manusia, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, telah menyuarakan keprihatinan mendalam atas penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan dan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi. Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mendesak pemerintah Nepal untuk menghormati hak asasi warga negaranya dan mencari solusi damai melalui dialog.
Masa depan politik Nepal kini berada di persimpangan jalan yang genting. Dengan demonstrasi yang diperkirakan akan terus berlanjut dan pemerintah yang menunjukkan sikap keras, potensi eskalasi lebih lanjut menjadi kekhawatiran serius. Dunia menunggu untuk melihat bagaimana pemerintah Nepal akan merespons tekanan domestik dan internasional, serta apakah kebebasan digital dan hak-hak sipil warganya akan dihormati di tengah krisis ini.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda