Netanyahu dan Gaza: Analisis Kebijakan Tanpa Batas Seiring Hilangnya Pengawasan AS

Dengan intensifikasi serangan terhadap Kota Gaza, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dinilai semakin menumpuk tindakan pembangkangan, terutama seiring dengan hilangnya pengawasan atau kendali dari administrasi Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump. Situasi ini memicu pertanyaan serius mengenai arah kebijakan Israel di masa mendatang dan implikasi jangka panjang bagi stabilitas regional.
Eskalasi Serangan dan Kebijakan Netanyahu
Pada 17 September 2025, serangan militer Israel terhadap wilayah Gaza terus menjadi fokus perhatian dunia. Operasi yang dilancarkan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) ini, yang menargetkan Kota Gaza, dianggap oleh banyak pengamat sebagai salah satu kampanye militer paling intens dalam beberapa waktu terakhir. Di tengah kecaman internasional dan seruan untuk menahan diri, Perdana Menteri Netanyahu tampaknya memilih untuk terus melanjutkan strategi ofensifnya.
Sumber-sumber intelijen dan laporan lapangan mengindikasikan bahwa Israel menargetkan infrastruktur yang mereka klaim terkait dengan kelompok-kelompok militan di Gaza. Namun, dampak dari serangan ini juga dirasakan oleh warga sipil dan infrastruktur non-militer, menimbulkan krisis kemanusiaan yang memprihatinkan. Sikap Netanyahu yang terus-menerus menantang tekanan eksternal menggarisbawahi tekadnya untuk memprioritaskan keamanan Israel sesuai definisinya, seringkali dengan mengabaikan kritik internasional.
Para analis politik meyakini bahwa keputusan Netanyahu juga dipengaruhi oleh dinamika politik domestik. Dengan menghadapi tantangan internal dan upaya untuk mempertahankan koalisi pemerintahannya, menunjukkan kekuatan dan ketegasan dalam menghadapi ancaman eksternal seringkali menjadi strategi yang efektif untuk menggalang dukungan publik. Namun, hal ini juga berisiko memperburuk citra Israel di mata dunia.
Implikasi Absennya Pengawasan dari Administrasi AS
Salah satu faktor kunci yang disoroti dalam konteks kebijakan “tanpa batas” Israel adalah perubahan pendekatan dari Amerika Serikat. Di bawah administrasi Trump, AS secara signifikan mengurangi tekanan diplomatik dan pengawasan terhadap Israel, dibandingkan dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Kebijakan “America First” Trump seringkali diinterpretasikan sebagai dukungan tanpa syarat terhadap Israel, yang berimbas pada berkurangnya kekhawatiran Israel terhadap potensi kritik atau sanksi dari Washington.
Secara historis, Amerika Serikat seringkali berperan sebagai penyeimbang, menggunakan pengaruh diplomatik dan ekonominya untuk mendorong Israel agar mematuhi norma-norma internasional atau untuk meredakan konflik. Namun, selama masa Trump, dukungan AS terlihat lebih unilateral, termasuk pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pengakuan kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, yang semuanya melanggar konsensus internasional.
“Absennya suara kritis yang kuat dari Washington, yang biasanya berfungsi sebagai rem diplomatik, telah menciptakan ruang bagi Israel untuk beroperasi dengan keleluasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar seorang diplomat senior yang enggan disebutkan namanya. “Ini bukan hanya tentang tidak adanya kritik, tetapi juga persepsi bahwa tindakan mereka tidak akan menghadapi konsekuensi serius dari sekutu terpenting mereka.”
Ketiadaan mekanisme pengawasan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, disinyalir telah memperkuat posisi Netanyahu untuk mengambil keputusan-keputusan unilateral yang mungkin akan dipertimbangkan ulang jika ada tekanan kuat dari sekutu terdekatnya. Situasi ini bukan hanya berdampak pada konflik Israel-Palestina, tetapi juga pada tatanan geopolitik yang lebih luas di Timur Tengah, memicu kekhawatiran tentang preseden yang tercipta dan potensi destabilisasi lebih lanjut di kawasan tersebut.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda