September 18, 2025

LOKAL TIMES

Update Terus, Gak Ketinggalan Zaman!

Netanyahu di Gaza: Batasan Diplomatik Menipis, Konflik Memanas

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali menjadi sorotan tajam dunia internasional setelah eskalasi militer yang signifikan di Jalur Gaza. Tindakan tersebut, yang diwarnai oleh intensitas serangan yang tinggi, telah memunculkan kekhawatiran serius mengenai ketiadaan pengawasan atau ‘rem’ diplomatik yang efektif, terutama setelah pergeseran kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada era pemerintahan Donald Trump. Serangan ke Kota Gaza, yang oleh banyak pihak dinilai melampaui batas, menggarisbawahi kebijakan Netanyahu yang tampaknya semakin berani, membangun tumpukan penolakan terhadap kritik internasional tanpa hambatan berarti.

Situasi ini tidak hanya memicu krisis kemanusiaan yang parah di wilayah padat penduduk tersebut, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai stabilitas regional dan prospek perdamaian jangka panjang. Pengamat politik dan diplomat dari berbagai negara mengamati dengan cemas bagaimana pemerintah Israel, di bawah kepemimpinan Netanyahu, mengambil langkah-langkah militer yang agresif, sementara sanksi atau tekanan signifikan dari sekutu utamanya, Amerika Serikat, nyaris tidak terlihat. Ini menciptakan persepsi Israel bertindak dengan ‘tangan bebas’ dalam menjalankan agendanya di wilayah konflik.

Ketiadaan tekanan eksternal yang substansial dari Washington dianggap sebagai faktor kunci yang memungkinkan Netanyahu untuk memperkuat posisi dan kebijakannya. Selama pemerintahan Trump, hubungan AS-Israel mencapai puncaknya, dengan dukungan yang hampir tidak terbatas untuk Israel dalam berbagai isu, termasuk pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan status Yerusalem. Perubahan paradigma ini secara efektif menghilangkan mekanisme penyeimbang yang sebelumnya mungkin ada, sehingga membuka jalan bagi Israel untuk melakukan operasi militer dengan tingkat kebebasan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Konfrontasi Gaza: Peningkatan Ketegangan Tanpa Kendali

Serangan yang dilancarkan terhadap Kota Gaza telah menelan korban jiwa ratusan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, serta menghancurkan infrastruktur vital, termasuk perumahan, rumah sakit, dan fasilitas media. Militer Israel menyatakan operasi ini sebagai respons terhadap serangan roket dari kelompok militan Hamas, dengan tujuan melumpuhkan kemampuan militer mereka. Namun, skala dan intensitas balasan tersebut memicu kecaman keras dari berbagai organisasi hak asasi manusia dan lembaga internasional, yang menuntut penyelidikan atas dugaan kejahatan perang.

Netanyahu, yang menghadapi tekanan politik domestik dan serangkaian masalah hukum, seringkali menampilkan diri sebagai penjaga keamanan Israel yang tak kenal kompromi. Dalam beberapa kesempatan, ia menegaskan bahwa Israel memiliki hak penuh untuk membela diri dan akan mengambil tindakan apa pun yang diperlukan untuk melindungi warganya. Retorika ini diperkuat oleh dukungan tanpa syarat dari Gedung Putih era Trump, yang secara konsisten memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengkritik tindakan Israel dan mengurangi bantuan kemanusiaan untuk Palestina.

Analis kebijakan luar negeri menyatakan bahwa dukungan AS yang tidak tergoyahkan selama periode tersebut memberikan Netanyahu kebebasan bermanuver yang lebih besar.

“Situasi saat ini menunjukkan pergeseran paradigma, di mana kekhawatiran global tampaknya gagal membendung eskalasi yang didorong oleh kebutuhan politik domestik dan dukungan eksternal yang kuat,” ujar seorang analis Timur Tengah kepada media pada 18 September 2025.

Pernyataan ini menggarisbawahi tantangan yang dihadapi komunitas internasional dalam mengelola konflik yang semakin kompleks dan asimetris ini.

Erosi Pengawasan Internasional dan Implikasinya

Kebijakan luar negeri AS di bawah Trump secara dramatis menjauh dari pendekatan seimbang yang dianut oleh pemerintahan sebelumnya. Langkah-langkah seperti pemindahan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem pada tahun 2018 dan pengakuan kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan mengirimkan sinyal kuat bahwa Washington tidak lagi menganggap dirinya sebagai mediator netral dalam konflik Israel-Palestina. Sebaliknya, AS secara eksplisit memihak Israel, yang pada gilirannya mengurangi insentif bagi Israel untuk mempertimbangkan mitigasi atau negosiasi.

Erosi pengawasan internasional ini bukan hanya terbatas pada peran AS. Melemahnya konsensus di antara negara-negara Eropa dan fragmentasi kekuatan di PBB juga berkontribusi pada lingkungan di mana Israel merasa kurang terikat oleh norma-norma internasional. Meskipun ada kecaman verbal dari Uni Eropa dan PBB, langkah-langkah konkret untuk menekan Israel agar menghentikan operasi atau mematuhi hukum internasional seringkali terhambat oleh perbedaan pendapat internal dan dinamika geopolitik yang lebih luas.

Implikasi jangka panjang dari ‘Israel tanpa batasan’ ini sangat besar. Hal ini tidak hanya memperparah penderitaan rakyat Palestina di Gaza dan Tepi Barat, tetapi juga berpotensi memicu ketidakstabilan yang lebih luas di Timur Tengah. Tanpa adanya prospek dialog yang tulus dan pengawasan yang efektif dari komunitas internasional, siklus kekerasan kemungkinan besar akan terus berlanjut, semakin menjauhkan harapan akan solusi dua negara yang sudah rapuh. Masa depan keamanan regional dan kemanusiaan di wilayah tersebut sangat bergantung pada kembalinya mekanisme pengawasan yang kredibel dan dorongan untuk diplomasi yang tulus.


Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.