Netanyahu Dorong Agresi Gaza: Analisis Hilangnya Batasan AS

TEL AVIV – Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dihadapkan pada sorotan tajam menyusul operasi militer intensif di Jalur Gaza. Tindakannya disebut semakin menunjukkan pembangkangan, terutama di tengah absennya tekanan atau kendali signifikan dari pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump pada saat itu. Situasi ini memicu kekhawatiran serius tentang eskalasi konflik dan stabilitas regional, sekaligus menimbulkan pertanyaan besar mengenai peran mediasi internasional dan prospek perdamaian yang semakin suram.
Kebijakan Netanyahu dan Peningkatan Agresi di Gaza
Serangan terhadap Kota Gaza, yang seringkali digambarkan sebagai respons terhadap ancaman keamanan dari kelompok militan di wilayah tersebut, telah memicu gelombang kritik internasional. Namun, di bawah kepemimpinan Netanyahu, Israel tampak semakin berani dalam melancarkan operasi militer yang berjangka waktu panjang dan berskala besar. “Pembangkangan demi pembangkangan,” demikian frasa yang kerap digunakan untuk menggambarkan serangkaian keputusan yang diambil oleh pemerintahan Netanyahu, mulai dari perluasan permukiman ilegal hingga respons militer yang terkadang tidak proporsional.
Dalam konteks serangan di Gaza, militer Israel seringkali menggunakan kekuatan udara dan darat, menargetkan infrastruktur yang disebut sebagai bagian dari jaringan militan, namun seringkali menyebabkan kerusakan luas pada infrastruktur sipil dan jatuhnya korban di kalangan warga Palestina. Organisasi hak asasi manusia dan badan-badan PBB secara konsisten menyerukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran hukum internasional dalam konflik ini, namun seruan tersebut kerap kali diabaikan oleh Tel Aviv. Gaya kepemimpinan Netanyahu yang tegas dan terkadang kontroversial, ditambah dengan dukungan kuat dari basis politiknya, telah memungkinkan strategi ini untuk terus berjalan, bahkan ketika mendapat kecaman dari berbagai pihak global.
Pergeseran Kebijakan Washington: Era Tanpa Kendali
Salah satu faktor kunci yang memperkuat kebijakan Israel yang lebih asertif adalah pergeseran fundamental dalam pendekatan administrasi AS di bawah Presiden Donald Trump. Berbeda dengan pendahulu-pendahulunya yang seringkali berusaha menyeimbangkan dukungan untuk Israel dengan upaya mendorong solusi dua negara dan menekan Tel Aviv untuk menahan diri, pemerintahan Trump mengadopsi kebijakan yang jauh lebih pro-Israel secara terang-terangan.
Langkah-langkah kontroversial seperti pemindahan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem, pengakuan kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, dan pemotongan bantuan untuk Palestina, secara efektif menghilangkan “batasan” tradisional yang sebelumnya diterapkan Washington. Peran AS sebagai mediator yang netral pun menjadi sangat diragukan. Alih-alih bertindak sebagai penyeimbang, pemerintahan Trump justru terlihat memberikan “lampu hijau” bagi Israel untuk melanjutkan kebijakannya tanpa hambatan berarti. Ini menciptakan iklim di mana Tel Aviv merasa kurang bertanggung jawab terhadap tekanan internasional, terutama dari sekutu terpentingnya.
“Kebijakan luar negeri AS di bawah Trump tampaknya telah menulis ulang buku pedoman hubungan diplomatik di Timur Tengah. Dengan menyingkirkan peran tradisionalnya sebagai penyeimbang, Washington secara tidak langsung memberi sinyal bahwa Israel dapat bertindak dengan otonomi yang lebih besar, mengubah dinamika konflik secara fundamental.” — Kata seorang analis politik Timur Tengah kepada media pada 17 September 2025.
Dampak dari pergeseran kebijakan AS ini sangat terasa. Kritikus berpendapat bahwa hal ini tidak hanya memperumit upaya perdamaian, tetapi juga berpotensi memicu spiral kekerasan yang lebih besar. Tanpa suara yang kuat dari sekutu terdekatnya untuk menyerukan moderasi, Israel di bawah Netanyahu merasa memiliki keleluasaan untuk mengejar agenda keamanannya dengan prioritas utama, bahkan jika itu berarti mengabaikan kekhawatiran komunitas internasional.
Situasi di Gaza, dengan Netanyahu yang terus menunjukkan pembangkangan dan hilangnya batasan dari pemerintahan Trump, telah menciptakan preseden berbahaya. Ini menggarisbawahi tantangan besar bagi diplomasi global dan upaya mencapai solusi jangka panjang untuk konflik Israel-Palestina. Di masa depan, peran komunitas internasional, khususnya kekuatan besar lainnya, akan semakin krusial dalam mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh absennya kendali AS, guna mencegah eskalasi lebih lanjut dan melindungi hak asasi manusia di tengah gejolak yang tak berkesudahan di wilayah tersebut.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda