Netanyahu Terjebak Dilema Gaza: Dari Kemenangan Iran ke Krisis Kemanusiaan

Hanya enam minggu setelah Israel meraih kemenangan diplomatik dan militer yang signifikan atas serangan Iran, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kini menghadapi krisis yang mendalam di Jalur Gaza. Alih-alih memanfaatkan momentum tersebut untuk meredakan konflik, Netanyahu justru terjebak dalam strategi negosiasi ‘semua atau tidak sama sekali’ dengan Hamas, yang dinilai banyak pihak menghambat kemajuan kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera.
Sikap keras ini tidak hanya memperpanjang penderitaan kemanusiaan di Gaza, tetapi juga memicu pertanyaan serius tentang kepemimpinan dan prioritas Netanyahu di tengah tekanan domestik dan internasional yang kian meningkat.
Kejayaan Sesaat Melawan Teheran
Pada 04 August 2025 minus enam minggu, dunia menyaksikan respons terkoordinasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dari Israel dan sekutunya dalam menghadapi serangan rudal dan drone skala besar dari Iran. Serangan tersebut, yang merupakan balasan atas dugaan serangan Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus, Suriah, berhasil digagalkan dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Sistem pertahanan rudal Iron Dome Israel, bersama dengan dukungan dari Amerika Serikat, Inggris, Yordania, dan Arab Saudi, berhasil mencegat lebih dari 300 proyektil.
Momen ini sempat mengangkat citra Netanyahu sebagai pemimpin yang mampu menjaga keamanan negaranya di tengah ancaman regional. Solidaritas internasional yang mengalir deras, termasuk dukungan kuat dari Washington, seolah menjadi penegasan atas posisi Israel sebagai kekuatan yang tidak tergoyahkan. Banyak pihak berharap kemenangan ini akan memberikan Netanyahu posisi tawar yang kuat dan keleluasaan politik untuk mencapai resolusi yang lebih lunak di Gaza.
Gaza: Dari Kemenangan ke Krisis Kemanusiaan
Namun, euforia kemenangan atas Iran kini digantikan oleh realitas pahit di Jalur Gaza. Negosiasi untuk gencatan senjata permanen, pembebasan sandera, dan peningkatan bantuan kemanusiaan telah mencapai jalan buntu. Sumber-sumber yang dekat dengan perundingan menyebut bahwa Netanyahu tetap berpegang teguh pada tuntutan maksimal tanpa menunjukkan fleksibilitas yang dibutuhkan untuk mencapai terobosan.
Posisi ‘semua atau tidak sama sekali’ Netanyahu, yang mensyaratkan kehancuran total Hamas dan penolakan terhadap pembentukan negara Palestina sebagai bagian dari kesepakatan, kontras dengan tekanan global yang menyerukan jeda kemanusiaan segera dan solusi jangka panjang. Akibatnya, puluhan sandera masih mendekam dalam penawanan, sementara penduduk Gaza menghadapi kelaparan, penyakit, dan kehancuran infrastruktur yang meluas.
“Kemenangan atas Iran seharusnya menjadi katalisator bagi Israel untuk menunjukkan kepemimpinan yang lebih bijaksana di Gaza. Sikap ‘semua atau tidak sama sekali’ hanya akan memperpanjang penderitaan dan mengikis dukungan internasional yang baru saja didapatkan.”
Kondisi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk, dengan laporan PBB menyebutkan bahwa sebagian besar penduduk berada di ambang kelaparan. Tekanan dari Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar, sebagai mediator utama, belum mampu mengubah pendirian Netanyahu, yang tampaknya lebih memilih untuk mempertahankan garis keras demi kepentingan koalisi pemerintahannya yang rapuh.
Kini, enam minggu setelah Israel menunjukkan kekuatan militernya melawan Iran, pertanyaan besar muncul: apakah Perdana Menteri Netanyahu telah menyia-nyiakan momen kritis untuk meredakan ketegangan dan mengakhiri konflik di Gaza? Tindakannya dalam beberapa hari dan minggu ke depan akan menentukan tidak hanya nasib sandera dan jutaan warga Gaza, tetapi juga masa depan politiknya sendiri dan posisi Israel di panggung global.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda