Pemilu Pasca-Konflik Suriah: Antara Harapan Stabilisasi dan Konsolidasi Kekuatan Presiden
        Damaskus, Suriah – Pada 05 October 2025, Suriah menyelenggarakan pemilihan parlemen pertamanya sejak berakhirnya konflik sipil yang berkepanjangan. Pemungutan suara ini terjadi di tengah spekulasi dan perdebatan sengit mengenai signifikansi dan legitimasinya, dengan beberapa pihak melihatnya sebagai tonggak penting bagi pemulihan negara, sementara yang lain mengecamnya sebagai manuver Presiden Ahmed al-Shara untuk mengukuhkan kekuasaan.
Sebuah Langkah Menuju Normalisasi atau Pengukuhan Dominasi?
Pemerintah Suriah, di bawah kepemimpinan Presiden Ahmed al-Shara, telah menyajikan pemilihan ini sebagai langkah krusial menuju normalisasi dan pemulihan institusi negara setelah bertahun-tahun konflik yang memporakporandakan. Narasi resmi berfokus pada pentingnya membangun kembali persatuan nasional dan memproyeksikan citra stabilitas di mata komunitas internasional. Bagi sebagian warga Suriah yang lelah dengan perang, pemilu ini mungkin menawarkan secercah harapan akan masa depan yang lebih stabil dan kesempatan untuk berkontribusi dalam pembangunan kembali negara.
Namun, pandangan ini jauh dari konsensus. Banyak kritikus, baik di dalam maupun di luar Suriah, dengan keras menolak legitimasi proses pemilu. Mereka berpendapat bahwa lanskap politik Suriah masih sangat didominasi oleh Partai Ba’ath yang berkuasa, dengan sedikit ruang bagi oposisi yang berarti. Jutaan warga Suriah yang mengungsi secara internal atau sebagai pengungsi di negara lain secara efektif kehilangan hak pilih, menimbulkan pertanyaan serius tentang representasi dan inklusivitas pemilu ini.
“Ini bukanlah pemilihan umum yang sebenarnya, melainkan sandiwara politik yang dirancang untuk memberikan legitimasi palsu kepada rezim yang terus menindas rakyatnya. Jutaan warga Suriah tidak dapat berpartisipasi karena pengungsian atau ketakutan yang mencekam.”
— Seorang analis politik independen, yang meminta anonimitas karena alasan keamanan.
Tantangan Demokrasi di Tengah Bayang-bayang Konflik
Pemilihan parlemen ini berlangsung di tengah realitas yang kompleks dan penuh tantangan. Meskipun konflik berskala besar telah mereda di sebagian besar wilayah, kantong-kantong kekerasan sporadis dan ketegangan masih ada, terutama di wilayah utara dan timur. Kondisi keamanan di sekitar tempat pemungutan suara menjadi perhatian utama, meskipun pihak berwenang mengklaim telah mengambil langkah-langkah ketat untuk memastikan keselamatan.
Komunitas internasional juga terpecah dalam menyikapi pemilu ini. Negara-negara Barat dan sekutunya cenderung mengabaikan atau mengutuk hasilnya, menyoroti kurangnya pengawasan independen, pembatasan kebebasan politik, dan catatan hak asasi manusia Suriah yang mengkhawatirkan. Sebaliknya, sekutu Suriah seperti Rusia dan Iran kemungkinan besar akan mengakui dan mendukung proses tersebut sebagai tanda kedaulatan dan kemajuan. Ketidaksepakatan ini menggarisbawahi perpecahan geopolitik yang lebih luas terkait masa depan Suriah.
Di luar aspek politik dan keamanan, Suriah juga menghadapi krisis ekonomi yang parah, diperburuk oleh sanksi internasional dan kerusakan infrastruktur akibat perang. Kemiskinan merajalela dan akses terhadap kebutuhan dasar masih menjadi masalah besar bagi banyak warga. Pertanyaan besar yang mengemuka adalah apakah parlemen yang baru akan memiliki kekuatan atau kemauan untuk mengatasi tantangan-tantangan fundamental ini, atau apakah ia hanya akan berfungsi sebagai alat untuk mengukuhkan status quo. Hasil pemilu ini, terlepas dari validitasnya, akan menjadi babak baru dalam perjuangan panjang Suriah untuk menentukan nasibnya sendiri di tengah ketidakpastian regional dan global.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda
