Pemimpin Eropa Tolak Proposal Damai AS-Rusia, Tegaskan Dukungan untuk Kyiv
Para pemimpin Eropa dengan suara bulat menolak proposal perdamaian yang digagas oleh Amerika Serikat dan Rusia terkait konflik di Ukraina, menegaskan kembali dukungan penuh mereka terhadap Presiden Volodymyr Zelensky. Rencana kontroversial ini, yang disebut-sebut menguntungkan Moskow dan tidak melibatkan sekutu-sekutu utama Kyiv, telah memicu kekhawatiran serius di seluruh benua.
Proposal gabungan AS-Rusia tersebut, yang dilaporkan beredar di kalangan diplomatik tanpa konsultasi signifikan dengan Eropa, mensyaratkan Kyiv untuk menyerahkan sebagian wilayahnya dan mengurangi ukuran angkatan bersenjatanya secara signifikan. Sebagai imbalannya, Moskow akan mendapatkan keuntungan berupa reintegrasi ke dalam ekonomi global dan potensi pencabutan sebagian sanksi yang dijatuhkan pasca-invasi. Rincian rencana ini telah menimbulkan kemarahan dan tuduhan bahwa proposal tersebut berpotensi melemahkan kedaulatan Ukraina dan memberikan kemenangan de facto bagi agresor.
Reaksi Keras dari Eropa dan Kyiv
Penolakan keras datang dari berbagai ibu kota Eropa. Para pejabat tinggi dari Uni Eropa dan negara-negara anggotanya menyatakan bahwa segala bentuk penyelesaian konflik harus berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum internasional dan tidak boleh dipaksakan tanpa persetujuan penuh serta partisipasi Ukraina. Mereka secara eksplisit menggarisbawahi pentingnya mempertahankan integritas teritorial Ukraina dan menolak gagasan “perdamaian” yang mensyaratkan Kyiv menyerahkan wilayah yang direbut secara ilegal oleh Rusia.
Presiden Zelensky sendiri telah berulang kali menegaskan bahwa Ukraina tidak akan menyerahkan sejengkal pun wilayahnya kepada agresor. Ia menuntut penarikan penuh pasukan Rusia dari seluruh wilayah Ukraina yang diakui secara internasional, termasuk Krimea. Dukungan solid dari para pemimpin Eropa dianggap krusial bagi Kyiv dalam menghadapi tekanan internasional untuk berkompromi, yang seringkali dilihat sebagai upaya untuk melegitimasi agresi Rusia dan mengabaikan kejahatan perang.
“Kami tidak akan pernah menerima proposal perdamaian yang memaksa Ukraina untuk bernegosiasi di bawah todongan senjata atau mengorbankan kedaulatan dan integritas teritorialnya. Perdamaian sejati harus adil dan berkelanjutan, bukan sekadar jeda yang menguntungkan agresor dan mengabaikan keadilan,” kata seorang diplomat senior Uni Eropa, yang tidak ingin disebutkan namanya karena sensitivitas isu tersebut, pada 22 November 2025.
Implikasi Geopolitik dan Masa Depan Konflik
Insiden ini juga menyoroti potensi keretakan dalam aliansi Barat dan menunjukkan perbedaan pendekatan dalam menangani konflik Ukraina. Meskipun Amerika Serikat adalah sekutu kunci Kyiv, proposal yang seolah-olah disusun bersama dengan Moskow tanpa koordinasi penuh dengan mitra Eropa dapat mengikis kepercayaan dan melemahkan front persatuan melawan agresi Rusia. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang prioritas kebijakan luar negeri dan cara terbaik untuk mencapai stabilitas regional dan global.
Dengan penolakan tegas dari Eropa dan Kyiv, prospek proposal perdamaian AS-Rusia ini tampaknya redup. Konflik di Ukraina diperkirakan akan terus berlanjut di medan perang dan melalui jalur diplomatik yang lebih terkoordinasi. Negara-negara Eropa kemungkinan akan menggandakan upaya mereka untuk mendukung Ukraina secara militer dan finansial, sementara pada saat yang sama mencari solusi jangka panjang yang selaras dengan nilai-nilai demokrasi dan hukum internasional, bukan perdamaian yang dipaksakan.
Penolakan ini menegaskan kembali komitmen kuat Eropa terhadap kedaulatan Ukraina dan prinsip-prinsip tatanan internasional berbasis aturan. Konflik ini, yang telah memasuki tahun ketiga, masih jauh dari kata usai, dan jalan menuju perdamaian yang adil serta berkelanjutan tetap menjadi tantangan besar bagi komunitas internasional.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda
