Perbatasan Thailand-Kamboja Memanas: Gencatan Senjata Gagal Total

BANGKOK/PHNOM PENH – Pertempuran sengit kembali pecah di perbatasan antara Thailand dan Kamboja pada Minggu pagi, 27 July 2025, menggagalkan kesepakatan gencatan senjata yang baru saja diumumkan oleh Presiden Trump pada Sabtu sebelumnya. Insiden ini menandai runtuhnya upaya diplomatik untuk meredakan ketegangan yang telah berlangsung lama di wilayah perbatasan yang disengketakan, memicu kekhawatiran akan eskalasi konflik yang lebih luas di Asia Tenggara.
Meskipun Presiden Trump pada hari Sabtu menyatakan bahwa kedua negara telah menyepakati penghentian pertempuran segera, laporan dari lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Baku tembak artileri dan senjata ringan dilaporkan terjadi di beberapa titik di sepanjang perbatasan, terutama di sekitar area Kuil Preah Vihear yang menjadi sumber perselisihan utama antara kedua negara. Saksi mata melaporkan suara ledakan dan evakuasi warga sipil dari desa-desa terdekat, menambah daftar panjang krisis kemanusiaan akibat konflik ini.
Kegagalan Gencatan Senjata dan Latar Belakang Konflik
Pengumuman gencatan senjata oleh Presiden Trump disambut dengan harapan, mengingat sejarah panjang perselisihan perbatasan antara Thailand dan Kamboja yang kerap kali meletus menjadi bentrokan bersenjata. Sumber diplomatik di Washington menyebutkan bahwa kesepakatan tersebut dicapai setelah negosiasi intensif yang melibatkan mediator internasional. Namun, kurang dari 24 jam setelah pengumuman itu, harapan tersebut sirna ketika suara tembakan kembali terdengar di perbatasan yang sensitif.
Konflik antara Thailand dan Kamboja berpusat pada klaim kepemilikan atas beberapa area di sepanjang perbatasan sepanjang 800 kilometer, dengan Kuil Preah Vihear abad ke-11 sebagai titik nyala paling menonjol. Meskipun Mahkamah Internasional pada tahun 1962 memutuskan bahwa kuil tersebut adalah milik Kamboja, area di sekitarnya tetap menjadi sengketa. Selama bertahun-tahun, bentrokan sporadis telah mengakibatkan korban jiwa dari kedua belah pihak, baik militer maupun warga sipil, serta pengungsian massal.
“Kami sangat kecewa dengan kembali meletusnya pertempuran. Gencatan senjata yang rapuh ini seharusnya memberikan ruang bagi dialog, bukan untuk menambah penderitaan rakyat kami,” ujar seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Kamboja yang enggan disebutkan namanya, dalam sebuah pernyataan pers yang dirilis pasca-insiden tersebut. Di sisi lain, juru bicara Kementerian Pertahanan Thailand menyatakan bahwa pasukannya terpaksa membalas tembakan untuk melindungi kedaulatan wilayahnya.
Respons Internasional dan Prospek Kedepan
Kegagalan gencatan senjata ini segera memicu kekhawatiran di kalangan komunitas internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mendesak kedua belah pihak untuk menahan diri dan kembali ke meja perundingan. Sekretaris Jenderal PBB menyerukan agar mekanisme pengawasan gencatan senjata segera diaktifkan dan mendesak semua pihak untuk mematuhi hukum kemanusiaan internasional.
Para analis geopolitik menyatakan bahwa kegagalan gencatan senjata ini menyoroti kompleksitas sengketa perbatasan yang tidak hanya melibatkan klaim teritorial tetapi juga sentimen nasionalisme yang kuat di kedua negara. “Tanpa solusi politik jangka panjang yang disepakati oleh kedua belah pihak, setiap gencatan senjata hanya akan menjadi jeda sementara sebelum pertempuran kembali meletus,” kata Dr. Anya Sharma, seorang ahli hubungan internasional dari Universitas Nasional Singapura.
Situasi di perbatasan tetap tegang dengan laporan pengerahan pasukan tambahan dari kedua belah pihak. Komunitas internasional kini dihadapkan pada tantangan untuk mendorong Thailand dan Kamboja agar berkomitmen pada proses perdamaian yang berkelanjutan, demi stabilitas regional dan keselamatan warga sipil yang terjebak dalam pusaran konflik yang tak berkesudahan ini.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda