Seruan Xi Jinping di KTT Asia-Pasifik: Lawan ‘Bullying’ Unilateral, Kritik Menghadang Tiongkok
Pada KTT Asia-Pasifik yang baru-baru ini berlangsung, Presiden Tiongkok Xi Jinping menyampaikan pesan tegas yang menggema di seluruh kawasan: negara-negara harus menolak perundungan unilateral. Seruan tersebut, yang secara luas ditafsirkan sebagai sindiran terselubung terhadap Amerika Serikat dan sekutunya, menyoroti meningkatnya ketegangan geopolitik dan persaingan pengaruh di salah satu wilayah paling dinamis di dunia. Namun, ironisnya, pesan tersebut muncul di tengah kritik tajam terhadap tindakan Tiongkok sendiri yang kerap dianggap unilateral dan koersif oleh banyak negara.
Pesan di Balik Seruan “Anti-Bullying”
Dalam pidatonya yang disiarkan secara luas, Presiden Xi menyerukan kepada para pemimpin negara-negara Asia-Pasifik untuk mendukung multilateralisme, keterbukaan ekonomi, dan kerja sama yang setara. Ia memperingatkan agar tidak ada negara yang mempraktikkan “bullying” atau intimidasi secara sepihak, yang dapat mengganggu rantai pasokan global dan menghambat pembangunan regional. Meskipun tidak menyebutkan nama secara langsung, konteks pidatonya jelas mengacu pada kebijakan AS yang telah menerapkan pembatasan perdagangan, sanksi teknologi, dan upaya untuk membangun aliansi yang mengisolasi Tiongkok.
Dari sudut pandang Beijing, langkah-langkah seperti kontrol ekspor semikonduktor, tarif impor, dan tekanan diplomatik terhadap perusahaan-perusahaan Tiongkok merupakan bentuk “bullying” yang mengancam kedaulatan ekonominya. Xi menegaskan bahwa negara-negara di kawasan ini harus mempertahankan haknya untuk memilih jalur pembangunannya sendiri tanpa campur tangan eksternal, sembari mengadvokasi visi Tiongkok tentang “komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia” yang mengedepankan kerja sama dan saling menghormati.
Kontradiksi dalam Kebijakan Beijing
Namun, seruan Xi untuk menentang “bullying unilateral” ini segera memicu perdebatan dan keraguan di kalangan analis dan pejabat internasional. Kritik muncul karena banyak pihak menilai Tiongkok sendiri telah melakukan serangkaian tindakan yang dapat dikategorikan sebagai unilateral dan koersif di kawasan Asia-Pasifik dan sekitarnya. Misalnya, ekspansi militer Tiongkok di Laut Cina Selatan, termasuk pembangunan pulau buatan dan penolakan terhadap putusan arbitrase internasional tahun 2016, telah menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan negara-negara tetangga.
Selain itu, Beijing juga dituduh menggunakan kekuatan ekonominya sebagai alat tekanan. Contoh paling mencolok adalah sanksi perdagangan tidak resmi terhadap Australia setelah Canberra menyerukan penyelidikan independen mengenai asal-usul pandemi COVID-19, atau tekanan diplomatik terhadap Lituania karena membuka kantor perwakilan di Taiwan. Kebijakan “diplomasi serigala pejuang” (wolf warrior diplomacy) Tiongkok juga sering dikritik karena retorika yang agresif dan kurangnya diplomasi, yang justru memperburuk hubungan dengan banyak negara.
“Sangat sulit bagi banyak negara untuk menerima seruan Tiongkok melawan ‘bullying’ unilateral, ketika mereka sendiri telah merasakan tekanan ekonomi atau militer dari Beijing. Ada persepsi kuat tentang standar ganda,” kata seorang diplomat senior anonim yang hadir di KTT tersebut pada 01 November 2025.
Dilema Negara Kawasan dan Stabilitas Regional
Pernyataan Presiden Xi ini menyoroti dilema yang dihadapi banyak negara di Asia-Pasifik. Mereka bergantung pada Tiongkok untuk perdagangan dan investasi, namun juga mencari jaminan keamanan dari Amerika Serikat. Dalam persaingan strategis antara dua kekuatan besar ini, negara-negara kecil dan menengah seringkali merasa terjepit, berusaha menavigasi tanpa harus memilih salah satu pihak secara eksklusif.
Seruan untuk menolak “bullying” adalah upaya Tiongkok untuk menarik negara-negara ke dalam lingkar pengaruhnya, menawarkan alternatif terhadap tatanan yang dipimpin AS. Namun, efektifitas pesan ini akan sangat bergantung pada bagaimana Beijing sendiri mengubah persepsi global terhadap tindakannya. KTT Asia-Pasifik kali ini sekali lagi menggarisbawahi kompleksitas geopolitik regional, di mana narasi tentang keadilan dan kerja sama bersaing dengan realitas perebutan kekuasaan dan pengaruh.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya đŸ‘‰
Beranda
