Suriah: Kekerasan Tak Berujung Bayangi Janji Damai Pasca-Runtuhnya Rezim Assad
DAMASKUS – Sepuluh bulan setelah rezim Assad yang telah lama berkuasa akhirnya tumbang di Suriah, janji-janji akan perdamaian dan stabilitas kini terancam luntur digantikan oleh gelombang kekerasan yang tak terkendali. Laporan terbaru per 23 October 2025 menunjukkan bahwa serangkaian pembantaian warga sipil masih terus terjadi, memupus harapan banyak warga Suriah bahwa era brutalitas yang telah berlangsung bertahun-tahun akan segera berakhir.
Harapan yang Memudar di Tengah Kekejaman Berulang
Setelah bertahun-tahun di bawah cengkeraman rezim yang otoriter, jatuhnya pemerintahan Assad membawa secercah optimisme bagi jutaan rakyat Suriah. Banyak yang berharap bahwa transisi kekuasaan akan membuka jalan bagi rekonsiliasi dan pembangunan kembali negara yang porak-poranda. Namun, realitas di lapangan jauh dari harapan tersebut. Sebaliknya, wilayah-wilayah yang seharusnya menikmati perdamaian kini justru menjadi saksi bisu kekejaman yang berulang, seringkali dengan pola yang mengkhawatirkan.
Pembantaian yang menargetkan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, telah menjadi berita rutin, menciptakan siklus ketakutan dan keputusasaan. Insiden-insiden ini bukan lagi peristiwa terisolasi, melainkan indikasi dari kegagalan kolektif untuk membangun sistem keamanan dan keadilan pasca-konflik. Kelompok-kelompok bersenjata, baik yang berafiliasi dengan pemberontak maupun faksi-faksi lain yang muncul pasca-keruntuhan rezim, dituding bertanggung jawab atas sebagian besar kekerasan ini, beroperasi dengan impunitas yang mencolok.
“Kondisi ini sangat memprihatinkan. Ketika rezim Assad tumbang, kami membayangkan era baru, namun yang kami dapatkan hanyalah kekerasan dari arah yang berbeda. Harapan akan hari esok yang lebih baik kini terasa seperti ilusi yang kejam,” ujar seorang analis politik Suriah yang enggan disebutkan namanya, mencerminkan sentimen pahit yang meluas di masyarakat.
Vakum Kekuasaan dan Munculnya Ancaman Baru
Salah satu penyebab utama berlanjutnya pertumpahan darah ini adalah vakum kekuasaan yang signifikan setelah kejatuhan rezim. Meskipun pemberontak berhasil menggulingkan Assad, mereka kesulitan untuk membentuk pemerintahan yang kohesif dan efektif yang mampu mengendalikan seluruh wilayah negara. Perpecahan internal di antara faksi-faksi pemberontak, ambisi politik yang saling bertentangan, dan kurangnya sumber daya telah memperparah situasi.
Selain itu, munculnya kelompok-kelompok ekstremis dan milisi lokal yang beroperasi di luar kendali otoritas sentral yang lemah semakin memperkeruh keadaan. Mereka memanfaatkan kekacauan untuk memperluas pengaruh, seringkali dengan kekerasan brutal terhadap komunitas yang tidak sepaham. Lingkungan tanpa hukum ini menjadi lahan subur bagi tindak kejahatan, penjarahan, dan pembalasan dendam yang tak terkendali, menghambat setiap upaya untuk mencapai stabilitas.
Komunitas internasional juga menghadapi kritik atas respons mereka yang dinilai lamban dan tidak efektif. Meskipun ada seruan untuk intervensi dan bantuan kemanusiaan, upaya-upaya untuk mengamankan perdamaian jangka panjang dan melindungi warga sipil dari kekerasan tampaknya belum membuahkan hasil signifikan. Akibatnya, jutaan warga Suriah terus hidup dalam ketakutan, tanpa kejelasan kapan kekerasan ini akan benar-benar berakhir. Janji-janji perdamaian yang dulu diagung-agungkan kini hanya menyisakan pahitnya kenyataan akan konflik yang terus bergolak.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda
