Israel Terbelah: Wajib Militer Ultra-Ortodoks Guncang Koalisi Netanyahu

TEL AVIV – Israel menghadapi salah satu krisis internal terbesarnya dalam sejarah baru-baru ini, di tengah gejolak perang yang sedang berlangsung. Sebuah polemik lama mengenai pembebasan wajib militer bagi warga Israel ultra-Ortodoks (Haredi) kini kembali memanas, mengancam stabilitas politik Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan memperdalam keretakan sosial di negara itu.
Selama beberapa dekade, ribuan pemuda Haredi secara efektif dibebaskan dari dinas militer wajib yang berlaku bagi sebagian besar warga Israel lainnya, dengan alasan bahwa studi keagamaan mereka adalah kontribusi spiritual yang setara. Namun, dengan semakin banyaknya korban tewas di medan perang dan tuntutan akan kesetaraan beban, seruan untuk mengakhiri pembebasan ini semakin nyaring, memicu kemarahan di kalangan komunitas Haredi dan menempatkan Netanyahu di persimpangan jalan politik.
Latar Belakang Sejarah dan Perdebatan Panjang
Pembebasan wajib militer bagi komunitas ultra-Ortodoks berakar pada kesepakatan yang dicapai oleh pendiri Israel, David Ben-Gurion, pada tahun 1948. Awalnya, pembebasan ini hanya berlaku untuk beberapa ratus ulama Yeshiva. Namun, seiring waktu dan pertumbuhan pesat populasi Haredi, jumlah mereka yang dikecualikan telah membengkak menjadi puluhan ribu setiap tahun, menimbulkan pertanyaan serius tentang kesetaraan.
Argumen utama di balik pembebasan ini adalah bahwa studi Torah yang mendalam oleh para pemuda Haredi adalah bentuk pertahanan spiritual yang vital bagi negara Israel, sama pentingnya dengan pertahanan fisik. Namun, argumen ini semakin sulit diterima oleh masyarakat umum, terutama mereka yang telah kehilangan orang terkasih di garis depan atau yang anggota keluarganya bertugas bertahun-tahun di militer dan cadangan.
Mahkamah Agung Israel telah berulang kali menyatakan bahwa kerangka hukum yang memungkinkan pembebasan ini tidak konstitusional dan diskriminatif, menuntut pemerintah untuk menyusun undang-undang baru yang lebih adil. Setiap upaya untuk mereformasi hukum tersebut selalu menemui jalan buntu karena penolakan keras dari partai-partai Haredi, yang merupakan bagian integral dari setiap koalisi pemerintahan sayap kanan, termasuk yang dipimpin Netanyahu.
Kondisi saat ini, dengan konflik yang sedang berlangsung dan tuntutan personel militer yang meningkat, telah memperparah ketidakpuasan. Beban dinas militer dirasakan semakin berat di pundak warga Israel non-Haredi, sementara komunitas ultra-Ortodoks, yang populasinya terus bertambah, tetap tidak terpengaruh oleh tuntutan nasional ini.
Dampak Politik dan Sosial di Tengah Perang
Krisis mengenai wajib militer ini tidak hanya sekadar perdebatan hukum atau filosofis; ia telah menjadi simbol dari perpecahan mendalam antara kelompok-kelompok sekuler dan religius di Israel. Bagi banyak orang Israel sekuler dan modern-Ortodoks, kegagalan untuk mewajibkan dinas militer bagi Haredi adalah ketidakadilan yang mencolok dan pengkhianatan terhadap prinsip kesetaraan dalam pengorbanan nasional.
Sebaliknya, bagi komunitas Haredi, seruan untuk wajib militer dipandang sebagai ancaman eksistensial terhadap gaya hidup dan identitas mereka. Mereka khawatir bahwa paparan lingkungan militer yang sekuler akan merusak komitmen agama dan tradisi mereka yang telah dijaga ketat selama berabad-abad. Demonstrasi besar-besaran telah dilakukan oleh kedua belah pihak di berbagai kota Israel, mencerminkan intensitas emosional dari isu ini.
“Kami mendedikasikan hidup kami untuk Torah. Studi kami adalah pertahanan spiritual Israel yang sesungguhnya. Mengusir kami dari Yeshiva untuk bergabung dengan militer adalah ancaman terhadap keberadaan kami dan identitas Yahudi kami. Pemerintah tidak bisa mengabaikan prinsip-prinsip suci ini,” ujar seorang rabi terkemuka ultra-Ortodoks, mencerminkan sentimen kuat komunitasnya.
Dilema bagi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sangat akut. Partai-partai Haredi, Shas dan United Torah Judaism, adalah pilar penting dalam koalisi pemerintahannya. Kehilangan dukungan mereka akan menyebabkan pemerintahannya runtuh, memicu pemilihan umum di tengah periode yang sudah sangat sensitif. Namun, menolak tuntutan untuk mewajibkan Haredi berisiko memicu kemarahan luas dari publik yang semakin menuntut kesetaraan pengorbanan di masa perang.
Pada 24 August 2025, belum ada solusi yang jelas terlihat. Mahkamah Agung telah memberikan batas waktu kepada pemerintah untuk mengajukan undang-undang baru yang mengatasi masalah diskriminasi ini, namun konsensus politik masih jauh dari tercapai. Masa depan stabilitas pemerintahan Netanyahu dan kohesi sosial Israel akan sangat bergantung pada bagaimana krisis yang bergejolak ini akan diselesaikan.
Polemik ini menyoroti retakan mendalam dalam masyarakat Israel, sebuah bangsa yang terus bergulat dengan definisi identitasnya, terutama saat menghadapi tantangan keamanan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda