Skandal Penyiksaan Polisi Afsel: Bayang-bayang Apartheid Kembali Menghantui

PRETORIA, Afrika Selatan – Pemerintah Afrika Selatan, yang dipimpin oleh para mantan pejuang kebebasan yang turut membebaskan negara dari cengkeraman rezim apartheid lebih dari tiga dekade lalu, kini menghadapi tuduhan serius mengenai praktik penyiksaan yang meluas di kalangan kepolisiannya. Laporan-laporan yang muncul mengindikasikan adanya pola kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi yang sangat mengkhawatirkan, bahkan mengingatkan pada kekejaman era apartheid yang seharusnya telah terkubur dalam sejarah.
Akumulasi insiden yang melibatkan penyiksaan fisik dan psikologis oleh aparat penegak hukum telah memicu gelombang kritik dari organisasi hak asasi manusia, baik di dalam maupun luar negeri. Praktik-praktik seperti pemukulan bertubi-tubi, penyiksaan dengan listrik, dan teknik interogasi yang mengancam nyawa dilaporkan terjadi secara rutin, mengikis kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya menjaga dan melindungi mereka.
Ironi di Balik Janji Kemerdekaan
Setelah bertahun-tahun berjuang melawan sistem opresif yang secara brutal menindas mayoritas penduduk, kemerdekaan Afrika Selatan pada tahun 1994 membawa harapan baru bagi tegaknya keadilan dan hak asasi manusia. Partai-partai politik yang dulunya menjadi garda depan perlawanan, kini memegang kendali pemerintahan. Ironisnya, di bawah pengawasan mereka, lembaga kepolisian yang seharusnya menjadi simbol perlindungan hukum justru dituduh mengulangi kekejaman di masa lalu.
Laporan-laporan terkini, yang terus bermunculan hingga 07 July 2025, menyoroti kegagalan sistemik dalam akuntabilitas dan pengawasan internal kepolisian. Para korban, seringkali individu yang rentan atau dituduh melakukan kejahatan kecil, melaporkan bahwa mereka dipaksa untuk mengakui tuduhan atau memberikan informasi di bawah tekanan kekerasan ekstrem. Hal ini tidak hanya melanggar hukum nasional tetapi juga konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Afrika Selatan.
Mengekor Bayang-bayang Masa Lalu Kelam
Perbandingan dengan praktik polisi di era apartheid, yang terkenal dengan kebrutalan dan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis, adalah hal yang tak terhindarkan dan sangat meresahkan. Di masa itu, penyiksaan sering digunakan sebagai alat penindasan politik dan kontrol sosial. Kemunculan kembali pola serupa ini menimbulkan pertanyaan serius tentang seberapa jauh negara tersebut telah melangkah maju dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang menjadi fondasi kemerdekaannya.
“Ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip yang kami perjuangkan,” ujar seorang juru bicara dari Pusat Hak Asasi Manusia Afrika Selatan. “Bagaimana mungkin sebuah negara yang dibangun di atas fondasi kebebasan kini membiarkan praktik-praktik keji seperti ini terus berlanjut di institusi penegak hukumnya? Pemerintah harus mengambil tindakan tegas untuk menghentikan ini dan memastikan akuntabilitas penuh bagi mereka yang bertanggung jawab.”
Desakan untuk penyelidikan menyeluruh dan akuntabilitas menjadi semakin kuat. Organisasi masyarakat sipil menuntut reformasi kepolisian yang komprehensif, termasuk pelatihan ulang personel, penegakan hukum yang lebih ketat terhadap pelaku penyiksaan, dan mekanisme pengaduan yang independen dan efektif. Tanpa tindakan tegas dan nyata, Afrika Selatan berisiko kehilangan legitimasi moralnya di mata dunia dan mengkhianati jutaan warganya yang telah berjuang demi masa depan yang lebih adil dan manusiawi.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda