Strategi Netanyahu Pasca-Iran: Perundingan Gaza Terganjal Sikap ‘Semua atau Tidak Sama Sekali’
Enam minggu setelah keberhasilan Israel dalam mengantisipasi serangan Iran, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kini menghadapi tantangan diplomatik yang lebih kompleks di Gaza. Alih-alih memanfaatkan momentum tersebut untuk meredakan ketegangan regional, Netanyahu justru bersikeras pada kesepakatan “semua atau tidak sama sekali” dengan Hamas. Sikap ini dinilai menghambat upaya gencatan senjata dan pembebasan sandera, serta memperparah krisis kemanusiaan di Jalur Gaza.
Dinamika Pasca-Konfrontasi Iran
Pada pertengahan April 04 August 2025 lalu, Israel berhasil menunjukkan kekuatan pertahanan udaranya dengan menggagalkan serangan rudal dan drone skala besar dari Iran. Kejadian ini sempat dipandang sebagai kemenangan strategis yang berpotensi memberikan Netanyahu posisi tawar yang lebih kuat di panggung internasional, serta memulihkan citra kepemimpinannya di tengah kritik domestik.
Namun, euforia kemenangan tersebut tampaknya tidak diterjemahkan ke dalam fleksibilitas dalam perundingan terkait Gaza. Sejak pecahnya konflik pada Oktober tahun lalu, tekanan internasional untuk mencapai gencatan senjata dan membebaskan sandera semakin meningkat. Berbagai pihak, termasuk Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar, telah berupaya menengahi kesepakatan. Namun, setiap inisiatif selalu terbentur pada posisi Israel yang menuntut penumpasan total Hamas sebagai prasyarat utama sebelum kesepakatan apa pun dapat tercapai. Pendekatan ini, yang oleh banyak pihak disebut sebagai ‘all or nothing’, mempersulit upaya mediator untuk menjembatani perbedaan antara kedua belah pihak.
Netanyahu berulang kali menegaskan bahwa tujuan utama operasi militer di Gaza adalah untuk melenyapkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas, serta memastikan semua sandera kembali. Namun, sikap tanpa kompromi ini dikhawatirkan dapat memperpanjang konflik dan memicu ketidakstabilan yang lebih luas di kawasan.
Jalan Buntu Perundingan dan Krisis Kemanusiaan
Sikap keras Netanyahu telah menyebabkan beberapa putaran perundingan menemui jalan buntu. Proposal gencatan senjata yang didukung oleh komunitas internasional, yang melibatkan pertukaran sandera dengan tahanan Palestina dan penarikan sebagian pasukan Israel dari Gaza, berulang kali ditolak atau direspon dengan tuntutan balik yang dinilai tidak realistis oleh Hamas dan para mediator.
Sementara itu, situasi kemanusiaan di Gaza terus memburuk secara drastis. Laporan PBB dan organisasi kemanusiaan lainnya menyoroti tingkat kelaparan yang mengkhawatirkan, kurangnya akses terhadap air bersih dan sanitasi, serta kerusakan infrastruktur yang meluas. Ribuan nyawa telah melayang, dan jutaan orang mengungsi, menghadapi masa depan yang tidak pasti akibat kebuntuan politik ini.
“Momen setelah kemenangan defensif melawan Iran seharusnya menjadi peluang emas bagi Netanyahu untuk menunjukkan kepemimpinan yang lebih bijaksana. Namun, dengan mempertahankan garis keras di Gaza tanpa kompromi, ia justru berisiko mengikis dukungan internasional dan memperpanjang penderitaan yang tak perlu,” ujar seorang analis politik Timur Tengah yang tidak ingin disebutkan namanya.
Masyarakat sipil Gaza, yang terjebak di tengah konflik, adalah pihak yang paling menderita. Tekanan dari dalam negeri Israel, serta dari sekutu-sekutu utamanya, diprediksi akan terus meningkat agar Netanyahu bersedia menunjukkan fleksibilitas demi menyelamatkan nyawa dan mengakhiri penderitaan di Jalur Gaza. Namun, hingga saat ini, belum ada tanda-tanda perubahan signifikan dalam strategi pemerintahannya.
Keputusan Netanyahu untuk tetap teguh pada strategi “semua atau tidak sama sekali” pasca-kemenangan defensif atas Iran menunjukkan dilema yang mendalam dalam kepemimpinannya. Alih-alih memanfaatkan momentum kemenangan untuk membangun perdamaian atau setidaknya meredakan konflik, ia justru terjebak dalam lingkaran negosiasi yang tak berujung, dengan konsekuensi kemanusiaan yang tragis.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda
