August 25, 2025

LOKAL TIMES

Update Terus, Gak Ketinggalan Zaman!

Tegang: Wajib Militer Ultra-Ortodoks Picu Krisis Nasional dan Koalisi Netanyahu

Gelombang protes dan ketegangan sosial melanda Israel, mengancam stabilitas pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pusat dari gejolak ini adalah isu wajib militer bagi warga Israel ultra-Ortodoks (Haredi) yang, selama beberapa dekade, sebagian besar telah dibebaskan dari dinas militer. Namun, dengan intensitas dan durasi perang di Gaza yang belum pernah terjadi sebelumnya, tekanan untuk mengakhiri pengecualian ini semakin memuncak, membelah masyarakat Israel dan menempatkan koalisi Netanyahu di ambang kehancuran.

Keputusan Mahkamah Agung Israel pada akhir Maret untuk menghentikan subsidi negara bagi seminari keagamaan (yeshiva) yang siswanya tidak mendaftar untuk wajib militer, dan tuntutan untuk menyusun undang-undang baru pada 24 August 2025, telah mempercepat krisis ini. Para pemimpin dan komunitas Haredi bereaksi dengan kemarahan, memandang upaya wajib militer sebagai serangan terhadap identitas dan gaya hidup religius mereka, sementara sebagian besar warga Israel lainnya menyerukan kesetaraan dalam berbagi beban nasional.

Latar Belakang Kontroversi: Pengecualian Historis dan Realitas Perang

Pengecualian wajib militer bagi komunitas ultra-Ortodoks berakar pada kesepakatan historis yang dibuat oleh Perdana Menteri pertama Israel, David Ben-Gurion, pada tahun 1948. Pada saat itu, beberapa ratus siswa yeshiva diberikan pengecualian dengan alasan bahwa studi Torah mereka adalah kontribusi spiritual yang vital bagi negara baru tersebut. Selama bertahun-tahun, jumlah siswa yang mendapatkan pengecualian ini melonjak drastis, mencapai puluhan ribu, seiring dengan pertumbuhan pesat komunitas Haredi.

Filosofi di balik pengecualian ini adalah bahwa studi Torah para siswa yeshiva melindungi Israel secara spiritual, sebuah pandangan yang sangat dipegang teguh dalam komunitas Haredi. Mereka berpendapat bahwa mengintegrasikan kaum muda Haredi ke dalam militer akan merusak gaya hidup religius mereka, memaparkan mereka pada pengaruh sekuler, dan mengikis fondasi budaya dan agama mereka yang unik. Selain itu, banyak yang memandang negara sekuler Israel sebagai entitas yang tidak sepenuhnya mewakili nilai-nilai agama mereka.

Namun, setelah serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober [Tahun Lalu] dan perang yang berkepanjangan di Gaza, tuntutan untuk “berbagi beban” semakin menguat di kalangan masyarakat Israel. Ribuan tentara cadangan telah dipanggil untuk bertugas dalam jangka waktu yang lebih lama dari biasanya, mengganggu kehidupan pribadi dan profesional mereka. Kematian di medan perang dan cedera yang meluas telah memperdalam rasa ketidakadilan di antara warga Israel sekuler, Druze, dan Zionis Religius, yang putra-putri mereka secara rutin mempertaruhkan hidup mereka untuk negara.

Kondisi saat ini telah memperburuk persepsi bahwa komunitas ultra-Ortodoks tidak berkontribusi secara proporsional terhadap pertahanan negara. Data menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari pria Haredi yang memenuhi syarat untuk wajib militer yang benar-benar mendaftar, sementara sebagian besar memilih untuk terus belajar di yeshiva, seringkali dengan dukungan finansial dari negara.

Dilema Politik dan Perpecahan Sosial yang Kian Mendalam

Bagi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, krisis ini merupakan pedang bermata dua. Koalisi pemerintahannya sangat bergantung pada dukungan partai-partai ultra-Ortodoks, Shas dan United Torah Judaism. Tanpa dukungan mereka, pemerintahannya akan runtuh, kemungkinan besar memicu pemilihan umum baru di tengah-tengah perang yang sedang berlangsung. Para pemimpin partai Haredi telah menegaskan bahwa mereka tidak akan menoleransi undang-undang yang mewajibkan wajib militer bagi siswa yeshiva.

“Bagi kami, belajar Torah adalah perlindungan sejati Israel, sama pentingnya dengan peluru dan rudal,” kata seorang rabi terkemuka, mencerminkan sentimen yang meluas di komunitas ultra-Ortodoks. “Memaksa anak-anak kami meninggalkan yeshiva sama saja dengan mengikis pondasi spiritual bangsa ini.”

Di sisi lain, publik Israel yang sekuler dan Zionis-religius menuntut diakhirinya pengecualian ini. Demonstrasi besar-besaran telah terjadi di seluruh negeri, menyerukan kesetaraan beban. Para menteri dalam kabinet Netanyahu sendiri, termasuk Benny Gantz dari Partai Persatuan Nasional, telah mengancam akan mundur jika undang-undang yang diusulkan tidak menciptakan kesetaraan yang signifikan dalam dinas militer. Gantz, yang merupakan saingan politik utama Netanyahu, telah menetapkan batas waktu bagi pemerintah untuk mengajukan rencana yang dapat diterima.

Mahkamah Agung Israel telah berulang kali menyatakan bahwa pengecualian massal bagi Haredi adalah tidak konstitusional dan diskriminatif. Dengan batas waktu yang kian mendekat dan tekanan politik dari segala penjuru, Netanyahu menghadapi pilihan yang sulit: memuaskan sekutu Haredi-nya dan mempertaruhkan perpecahan sosial yang lebih dalam serta kemarahan publik, atau memaksakan wajib militer bagi Haredi dan menghadapi kehancuran koalisi serta kemungkinan pemilihan umum.

Masa depan koalisi Netanyahu, integritas institusi militer Israel, dan bahkan kohesi sosial negara ini tampaknya bergantung pada bagaimana krisis wajib militer ini akan diselesaikan. Keputusan yang akan diambil dalam beberapa minggu mendatang akan memiliki implikasi yang mendalam dan berjangka panjang bagi identitas dan arah Israel.


Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.