Thailand dan Kamboja di Ambang Perang: Ribuan Warga Mengungsi Akibat Bentrok Sengit

Ketegangan di perbatasan Thailand-Kamboja mencapai titik kritis pada 26 July 2025, dengan bentrokan bersenjata mematikan memasuki hari kedua dan mendorong peringatan akan perang skala penuh. Konflik terbaru ini telah memaksa lebih dari 100.000 warga mengungsi dari rumah mereka, menjadikannya insiden paling mematikan antara kedua negara dalam 14 tahun terakhir.
Latar Belakang Konflik dan Eskalasi
Bentrok bersenjata yang kini melanda wilayah perbatasan kedua negara berpusat di sekitar sengketa Candi Preah Vihear, sebuah situs warisan dunia UNESCO yang telah menjadi sumber perselisihan berlarut-larut selama beberapa dekade. Meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 1962 memutuskan bahwa candi tersebut milik Kamboja, kepemilikan lahan di sekitarnya tetap menjadi abu-abu dan memicu ketegangan yang sering kali berubah menjadi kekerasan.
Eskalasi terbaru dilaporkan dimulai pada pagi hari kemarin, dengan laporan tembakan artileri dan senjata ringan di beberapa titik di sepanjang perbatasan. Pihak berwenang Thailand mengklaim pasukan Kamboja melancarkan serangan terlebih dahulu, sementara Phnom Penh menyalahkan Bangkok. Insiden ini telah menyebabkan kerugian material yang signifikan, termasuk kerusakan pada fasilitas sipil dan infrastruktur di kedua sisi perbatasan. Laporan awal juga menunjukkan adanya beberapa korban jiwa dan luka-luka, baik dari pihak militer maupun warga sipil, meskipun angka pasti masih diverifikasi.
Militer Thailand, melalui juru bicaranya, Kolonel Sarawut Kulchada, mengeluarkan peringatan tegas. “Kami telah memberi tahu Kamboja bahwa jika mereka tidak menghentikan serangan, situasi ini dapat meningkat menjadi perang skala penuh. Kami siap mempertahankan kedaulatan kami dengan segala cara yang diperlukan,” ujarnya dalam sebuah konferensi pers di Bangkok.
Dampak Kemanusiaan dan Seruan Internasional
Dampak paling mendesak dari konflik ini adalah krisis kemanusiaan yang menimpa puluhan ribu penduduk sipil. Lebih dari 100.000 orang, sebagian besar dari provinsi Surin dan Si Sa Ket di Thailand, serta wilayah Oddar Meanchey di Kamboja, terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk mencari perlindungan di tempat penampungan sementara. Banyak dari mereka adalah petani dan pekerja harian yang kini kehilangan mata pencaharian dan hidup dalam ketidakpastian.
Otoritas lokal, dibantu oleh lembaga kemanusiaan, bergegas menyediakan makanan, air bersih, dan fasilitas sanitasi di kamp-kamp pengungsian yang tersebar. Namun, kapasitas dan sumber daya terbatas, menimbulkan kekhawatiran akan kondisi kesehatan dan sanitasi jika konflik berlanjut.
“Situasi ini sangat mengkhawatirkan dan berpotensi memicu bencana kemanusiaan yang lebih besar jika tidak segera diatasi. Kami menyerukan semua pihak untuk menahan diri dan mencari solusi damai melalui dialog,” kata seorang perwakilan dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di Bangkok.
Komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), telah menyerukan de-eskalasi segera dan dialog konstruktif antara kedua negara. Beberapa negara tetangga telah menawarkan untuk memediasi pembicaraan, berharap dapat mencegah konflik berskala besar yang akan destabilisasi kawasan. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada tanda-tanda kemauan nyata dari kedua belah pihak untuk menghentikan permusuhan dan duduk di meja perundingan.
Kunjungi halaman utama kami untuk berita terbaru lainnya 👉
Beranda